Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Mahid, Orang Indonesia Terasing di Luar Negeri

5 Juni 2020   16:08 Diperbarui: 5 Juni 2020   17:45 422 6
Tadi malam selepas Yasinan dan Tahlilan, saya menyempatkan menonton film berlatarbelakangkan politik, yaitu Surat Dari Praha. Sebuah film yang menceritakan percintaan sepasang pemuda, yang kandas akibat prahara 1965.

Percintaan Jaya (Tio Pakusadewo) dengan Sulastri (Widyawati) mengalami titik gelap. Jalinan asmaranya kandas karena Jaya, yang menjadi Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) dalam bidang nuklir di Praha, Cekoslowakia (berubah menjadi Rep. Ceko pada 1 Januari 1993).

Namun karena adanya perubahan situasi politik, pasca prahara 1965, banyak para Mahid yang dicabut pasportnya dan kehilangan kewarganegaraan. Sehingga Jaya tidak bisa pulang ke Indonesia.

Baru 20 tahun kemudian, setelah Sulastri menikah, Jaya mengirimkan suratnya secara terus-menerus. Namun tak pernah ada balasan dari Sulastri, hingga ajal menjemputnya.

Alasan Jaya selama 20 tahun tidak mengirim surat, pasca pasportnya dicabut penguasa Orba, adalah untuk melindungi Sulastri dari intimidasi dan isolasi dari penguasa terkait kala itu.

***
Pada masa era Soekarno, pemerintah ingin meningkatkan sumber daya manusia rakyat Indonesia. Mereka mengirim rakyatnya yang berkompeten di bidangnya Masing-masing, untuk disekolahkan ke luar negeri. Kemudian memaksimalkan ilmu yang didapatkan, untuk kemajuan sepenuhnya bangsa Indonesia.

Negara mengirim ratusan pemuda dari berbagai daerah ke luar negeri untuk mengenyam pendidikan di berbagai universitas sesuai bidang pilihannya. Selain melalui kerjasama dengan negara-negara tujuan, pemerintah melakukannya dengan memberi beasiswa kepada para Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) itu.

Pemerintahan Soekarno lebih memilih mengeluarkan banyak biaya untuk menyekolahkan putra-putri bangsanya. Daripada membuka lebar-lebar pintu investasi asing guna membangun Indonesia. Apalagi Beliau saat itu, masih fobia dan waspada sekali, terhadap trik kolonialisme yang ingin bertapak kembali di Bumi Nusantara

Soekarno mengatakan dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams,
"Hal itu dilakukan agar kelak kekayaan berlimpah yang dikandung bumi pertiwi, bisa sepenuhnya diolah dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh putra-putra bangsa untuk kemajuan negeri".

Namun sayang, sebelum Indonesia menuai apa yang telah ditanamnya, prahara politik 30 S/PKI 1965 meletus. Sehingga tatkala peralihan kekuasaan, Soeharto berusaha menguburkan hal-hal yang berbau Soekarno. Termasuk program beasiswa mahasiswa terpilih ini.

Pemerintah Orde Baru memberi dua pilihan kepada para Mahid. Mau mendukung pemerintahannya atau tidak. Banyak para Mahid awam politik dan rata-rata Soekarnois. Mereka mayoritas adalah Nasionalis, dan sebagian kecil saja yang berfaham Komunis. Sehingga mereka enggan mendukung penguasa baru.

Akibatnya, paspor mereka dicabut oleh pemerintah Orba, secara otomatis tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless). Kemudian akses mereka ke instansi yang mengirim diputus. Sehingga mereka terdampar tanpa kewarganegaraan, di negara tempat mereka belajar.

Di samping paspor mereka otomatis dicabut oleh kedutaan Indonesia setempat, mereka memilih tidak pulang ke tanah air. Karena tahu, mereka pasti akan dipenjara, disiksa atau bahkan dibunuh oleh rezim saat itu.

Mereka semua ini disebut "Eksil", orang indonesia yang terasing jauh di luar negeri, karena situasi politik berbeda. Para eksil ini bukan hanya mahasiswa (Mahid) saja, ada juga dari kalangan seniman, diplomat, bahkan ada dari militer yang sedang tugas ke luar negeri kala itu.

Sepanjang rezim Orde Baru, mereka terlantar dan terasing di luar negeri. Ada yang sudah menikah dengan orang lokal di mana ia tinggal. Namun ada yang tetap konsisten dengan keyakinannya, sepertimana tokoh Jaya dalam film "Surat dari Praha".

Namun dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1999. Beliau mengundang para Eksil, agar pulang kembali ke Indonesia. Serta akan memulihkan hak-haknya sebagai warganegara Indonesia.

Saya cukup terenyuh, pada sebuah babak dalam film "Surat dari Praha". Dimana dalam sebuah acara pertemuan bulanan sesama para Eksil yang sudah tua renta, mereka menyanyikan lagu "Indonesia Pusaka" dengan penuh penghayatan sekali.

...
"Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun