“Iya, Naf.”
“Bagaimana jika kita tak bersama?”
“Kamu sehat, Naf?”
“Memang ada yang salah, Rif?”
“Kamu daritadi tidak sadar, Naf?”
“Aku sadar, Rif. Aku tanya, Bagaimana jika kita tak lagi bersama?”
“Ah… pertanyaan ambigu. Jangan bahas soal hal yang belum pasti terjadi, Naf!”
“Memangnya salah, Rif? Tanya begitu?”
“Kamu ada-ada saja. Look at me, lihat mataku… kamu pasti akan tau perihal benar atau tidaknya.”
“Ya, bagaimana jika itu terjadi, Rif?”
“Jangan banyak berkhayal. Tidak baik tuk kesehatanmu nantinya, Naf.”
“Aku serius nanya, Rif.”
“Akupun begitu serius menjawab pertanyaanmu, Naf.”
“Seandainya hal itu terjadi, apa yang kau lakukan?”
“Sudahlah, Naf. Jangan banyak berandai-andai. Jangan terlalu serius bermain dengan ‘jika’. Aku mencintaimu. Sesederhana itu.”
“Aku takut berpisah, Rif.”
“Mengapa kamu menciptakan rasa kekhawatiranmu sendiri, Naf?”
“Aku tak ingin kita membenci pada waktunya nanti, Rif.”
“Kau begitu yakin kita akan berpisah, Naf? Sudahlah, jangan terlalu berandai-andai. Kita (se)harus(nya) bersyukur, Naf. Masih diberikan anugerah hingga saat ini, kita masih bisa bersama. Tak perlu repot dan kita juga tak tahu pula apa yang akan terjadi pada esok, lusa, dan seterusnya. Yang kita lakukan adalah mempertahankan dan menjaga apa yang telah kita raih sampai saat ini, Naf.”
“Tapi… aku selalu memikirkan itu acapkali kita bersama, Rif.“
“Sadarlah kau dalam ketidakwarasanmu itu, Naf!”
“Rif, aku serius. Aku tak siap kalau saja aku kehilanganmu nanti.”
“Fokus saja pada hal-hal yang bisa membuatmu bahagia, Naf. Lihat aku! Kau melihatku kan, Naf? Aku disini. Menjaga kamu.”
“Tapi, Rif……”
“DIAM!”
Pada ucapan terakhir, aku mendekapmu erat-erat. Membuang jauh-jauh ketakutanmu yang sudah melampaui batas lewat, hingga kita sekarat.