Sebuah tanya yang sebenarnya sudah kutahu jawabnya. Kau akan tersenyum kemudian mengecup bibirku sambil memeluk manja. Lalu berkata. Bahwa kau ingin mengunjungi angkasa dan menyapa mega-mega.
Atau dengan riang. Kau akan mulai bercerita tentang salju yang membuat tubuhmu meriang. Indahnya sunset saat kau mengakhiri siang. Juga panasnya pantai yang membuat kulitmu sedikit belang.
Tapi tidak kali ini. Matamu nanar dalam binar yang menyisakan getar. Memeluk erat dengan hangat yang kuat memekat. Hanya sebuah kalimat yang melekat diingat.
"Sayang, sabar ya. Tunggu aku. Ini hanya perjalanan singkat"
Aku tak tahu apa maksudmu. Apakah kau ragu aku akan setia menunggu. Ataukah itu hanya caramu mengungkapkan sayang dan rindu. Bekal cintamu lebih dari cukup untuk mengisi sudut-sudut kosong kepergianmu di setiap relungku.
Langit adalah sahabat. Seperti halnya awan-awan yang bergumpal lembut di angkasa. Setiap detik dan menit seolah debaran jantung yang kadang tak beraturan. Sedangkan malam dan siang hanyalah masalah tempat dimana arah tujuan.
Entah kenapa kali ini aku sangat ingin mengantarmu. Ke tempat persinggahan dimana burung besi bertuliskan kerajaan besar masa lalu. Disana kau terbiasa terbang bersama asa-asa. Namun kutahu kau pasti takkan izinkanku tuk pergi bersamamu kesana.
*****
Detak jam dinding mendadak berubah memekakkan telinga. Seolah memaksaku tuk bersama menghitung setiap gerak jarumnya. Ada debar jantung yang tak bisa kumengerti. Meloncat-loncat setiap kali jarum jam membuat menit terlewati.
Empat menit sungguh waktu yang menyiksa. Senyum di wajahmu mendadak mengusik benak. Takkan kubiarkan sedikitpun bayangmu beranjak. Dalam pejam kunikmati isak yang entah mengapa kian menyesak.
*****
"Sayang, sabar ya. Tunggu aku. Ini hanya perjalanan singkat"