Ternyata "Etno", nama toko buku tujuannya tutup. "Ah, sekalian beli senar gitar sajalah," pikirnya. Sudah kepalang tanggung, di dekat sini juga ada toko musik yang cukup murah. Langsung ditancap lagi vespanya.
Jaka mendapatkan senar nilonnya, bertepatan dengan saat adzan maghrib berkumandang. Ia melihat ada tumpukan kue dan aqua gelas di dekat tempat parkir vespanya. Ingin juga rasanya ia cicip sedikit kue bolu lapis keju itu. Pasti legit dan maknyus.
"Ah, paling ini buat hidangan berbuka orang-orang di sini," pikirnya. Sampai tiba-tiba ada seorang pria melihat ke arahnya dengan tatapan ramah.
"Ayo silahkan, buka dulu puasanya," ujar pria itu.
"Iya pak terimakasih!" ujar si Jaka sambil menyalakan rokoknya. Ia tersenyum lalu menyalakan vespanya.
Buat Jaka, tidak etis baginya untuk mengambil jatah orang lain berbuka. Kasihan kalau yang lain kurang, sedangkan ia sendiri tidak puasa.
"Mari pak!" sahut Jaka sambil meluncur pulang ke rumah.
Dalam perjalanan pulang ia merasa sejuk, tidak terlalu dingin lagi anginnya, sepoi-sepoi. Indahnya setiap orang saling berbagi, setelah sehari bersama-sama memerangi pertarungan pribadi mereka. Ia ingat tadi ayahnya menelepon, mengajaknya berbuka di rumah bersama ibu tirinya. Mereka membeli ayam bakar untuk disantap bersama. Untung rumahnya dekat saja, sebentar juga sampai.
Keluarga Jaka memang Islam, tetapi Jaka menentukan pilihannya untuk tidak menjadi seorang Islam. Sebelum ayahnya menikah lagi, ibunya adalah seorang Katolik. Mereka bercerai saat Jaka masih SMP. Jaka tetap tinggal bersama ayahnya, sampai si ayah menikah lagi. Keluarganya sangat demokratis, bahkan sebagian orang bilang terlalu. Sejak SD Jaka sudah boleh untuk menentukan pilihan kepercayaannya sendiri. Sebagian kerabat bahkan menghujat orangtua Jaka yang katanya "membiarkan anak tersesat." Tapi sekarang Jaka sudah punya pendiriannya sendiri, dan itu bukan Islam -sebodo amat menurut para kerabat ia tersesat.
"Ayo Jak, sudah siap nih, tinggal nunggu kamu!" Seru ayahnya dari meja makan.
Ayah dan ibu tirinya sudah berbuka duluan, tetapi menunggu Jaka sampai di rumah dulu sebelum menyantap ayam goreng, terong bakar, serta sambal lezat buatan pembantu di rumahnya.
"Yah, besok aku juga diajak sahur ya," ujar Jaka kepada ayahnya.
Ayahnya tertawa dan menjawab, "Oke." Jaka begitu menikmati berbuka puasa hari itu. Ia berbincang tentang kenapa ia ingin ikut puasa. Bukan karena agama, buatnya untuk detox saja. Karena katanya puasa baik untuk mengobati penyakit maag-nya.
Televisi menyala sambil mereka santap malam -salah satu kebiasaan di rumah Jaka. Sinetron Ramadhan sepertinya ada di semua saluran. Jaka tidak suka sinetron, apalagi yang sok berbau agama. Jaka tidak suka para pelawak oportunis yang di bulan biasa bercanda tentang ngelaba, tapi di bulan puasa bicara tentang tuhan dan agama. Tapi ia biarkan saja, mencoba untuk tidak merusak suasana. Jangan sampai suasana baik hatinya rusak hanya karena aktor pemain "Naga Bonar" dan pelawak tidak terkenal yang mulai fanatik di bulan puasa.
"Yah kenapa aku tidak bisa berpacaran dengannya?" tanya salah seorang perempuan muda di televisi.
"Kalau cinta itu harus dari Allah, supaya bisa selamanya." jawab si pelawak oportunis.
"Tapi bukannya banyak orang yang tidak mengenal Allah tapi bisa juga selamanya?" lanjut si perempuan muda.
"Iya, tapi mereka baru mencintai dengan baik, bukan mencintai dengan benar." jawabnya lagi, seakan si pelawak hebat sekali mengetahui kebenaran sejati.
Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dari meja makan, berdiri, mematikan TV, kemudian memaki. "Dasar goblok! Taik! Sempit banget otaknya!"
Ayahku cuma tertawa kemudian bertanya. "Jadi ikut sahur besok pagi?"