Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Yth. Bapak Presiden, Bapak Kapolri, dan Pejuang HAM di manapun Anda berada.
Salam sejahtera tercurah untuk Bapak Presiden dan Bapak Kapolri yang saya hormati. Tak lupa semoga keselamatan juga selalu menaungi semua pejuang Hak Asasi Manusia di seluruh muka bumi tanpa terkecuali. Perkenankan saya menulis surat ini guna mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini saya simpan. Saya seorang wanita biasa yang barangkali tidak bisa memendam perasaan ini sendirian di saat suami saya entah dimana dan bagaimana nasibnya sekarang. Apalagi saya juga sendirian mengurus bayi kami yang baru berumur tiga minggu. Namun, bukan itu intinya.
Apakah Bapak Presiden dan Bapak Kapolri kemarin malam menyempatkan nonton televisi barang sejenak? Jika tidak, tidak mengapa, kami paham kesibukan Bapak-bapak dalam mengurus keamanan dan ketenteraman negara ini. Negara dimana kami juga tinggal di dalamnya sebagai bagian dari rakyat Bapak juga. Sekedar mengingatkan, kami (saya dan istri seorang sahabat suami yang dituduh teroris) sempat diundang ke acara Barometer SCTV Rabu malam 29 September kemarin oleh Mbak Presenter yang sangat cantik. Didampingi adik ipar saya, Ustad Dr. Adil Akhyar, kami diberi kesempatan mengutarakan nasib kami di depan kamera, kru televisi, dan seluruh pemirsa di tanah air. Sekali lagi, saya maklum seandainya Bapak Presiden dan Bapak Kapolri tidak sempat menyaksikannya, Bapak-bapak tentu mempunyai urusan masing-masing yang sangat penting.
Di sana kami memang sempat meneteskan air mata. Bukan karena kami lemah dan bersedih atas ditahannya suami saya dan dibunuhnya suami sahabat saya. Kami menangis karena kami tidak bisa berbuat apa-apa menjaga suami-suami kami dan menghadapi fitnah hebat ini. Kami sadar ini adalah ujian Allah untuk mengetahui kadar keimanan kami, sedangkan Allah berjanji tidak akan menguji diluar batas kesanggupan kami. Begitu sahabat saya yang suaminya terbunuh pasukan berseragam hitam dalam menenangkan saya. Saya jadi malu kepadanya. Kami sama-sama berpisah dengan suami saya, namun perpisahan dia dan suaminya adalah untuk selama-lamanya, sedangkan saya kalau ada kesempatan tentu masih bisa menjumpainya di dunia, entah di penjara atau pun di mana saja.
Jika Bapak-bapak yang terhormat tidak sempat menyaksikan kisah kami di televisi tidak perlu khawatir. Seandainya berkenan, di sini akan kami sampaikan ulang suara batin kami.
Nama saya Kartini Panggabean, kelahiran 20 Februari 1980. Panggilan saya Cici, anak-anak memanggil saya Ummi. Saya adalah isteri dari Ustadz Khairul Ghozali, anak-anak memanggilnya Buya, saya memanggilnya Bang Jali. Saya tinggal bersama suami dan empat anak kami, yaitu Umar Shiddiq, Raudah Atika Husna, Ahmad Yasin, dan Fathurrahman di Jalan Bunga Tanjung Gang Sehat.
Bang Jali lahir tahun 1963 dan tamat SD 1971. Kemudian Bang Jali Masuk SMP Muhammadiyah di Sei, Sikambing Medan. Secara otodidak Bang Jali belajar menulis. Bang Jali menetap di Tanjungbalai sebagai penulis buku-buku agama yang produktif, lebih kurang 50 judul buku dia terbitkan. Selain menulis, Bang Jali berprofesi sebagai pengobat tradisional (bekam). Sebagai mubaligh, Bang Jali juga sering mengisi pengajian.
Atas permintaan saya selaku Ummi anak-anak, sejak sebulan terakhir (Agustus 2010), Bang Jali tidak pergi ke mana-mana. Alasannya karena saya sedang hamil tua dan hari-hari menjelang persalinan makin dekat. Saya meminta Bang Jali untuk menemani saya melahirkan. Bang Jali yang penuh kasih saying menyetujuinya dan tidak kemana-mana kecuali sekali ke Medan untuk menjenguk ibunya di salah satu rumah sakit. Saya melahirkan putra keempat pada tanggal 28 Agustus 2010, saya beri nama anak itu Fathurrrahman Ramadhan karena memang lahir pada bulan Ramadhan.
Hingga suatu saat kejadian di waktu maghrib yang akhirnya mengubah jalur hidup kami.
Waktu itu hari Minggu sore sekitar pukul 18.45 WIB bertepatan dengan tanggal 19 September 2010. Saya, bayi saya, Buya, Dani, Deni, Alek, Abdullah, istri Abu, dan teman Deni, serta satu orang anak tamu kami, semua berjumlah 10 orang terdiri dari 5 laki-laki dewasa, 3 perempuan dewasa, dan 3 anak-anak. Saat adzan maghrib terdengar, Bang Jali bersiap-siap melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Bang Jali, Deni, Deden, Alek, dan Abu mengambil air wudhu. Saya bilang kepada Bang Jali, Buya bajunya diganti saja biar tidak basah kena air. Sedangkan saya berada di ruang tamu, sedang menyusui si Fathur.
Bersama saya dua perempuan dewasa. di dekat pintu depan rumah, pintu rumah kami hanya di depan, rumah kami tidak ada pintu belakang. Saya memanggil ketiga anak untuk pulang ke rumah, karena sudah masuk waktu maghrib. Bang Jali dan empat temannya mulai melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan Bang Jali sebagai imamnya. Mereka sholat di ruang belakang dekat dapur.
Dani, usianya sekitar dua puluh lima tahun tahun adalah murid mengaji Bang Jali. Kerjanya sehari-hari menjahit gorden, dia tinggal di Tanjung Balai. Dani membawa dua orang temannya, Alek (30 tahun) dan Deni (20 tahun) ke rumah. Bang Jali sebelumnya tidak mengenal kedua orang itu. Sejak saat itu, Deni dan Alek menginap di rumah, sedangkan Dani yang membawa tidak berniat menginap di rumah kami. Mengenai Abu atau Abdullah (35 tahun), saya tidak jelas orang dari mana asalnya. Jadi Deni dan Alek sudah menginap dua minggu di rumah kami, kedatangan mereka ke Tanjungbalai karena hendak mencari kerja, saat itu menjelang hari raya. Bang Jali bilang ini sudah dekat hari raya, tidak mungkin ada kerjaan. Tunggulah habis hari raya. Jadi mereka di rumah kerjanya hanya makan tidur. Seingat saya selama ini tidak ada kegiatan yang mencurigakan.
Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada orang berteriak keras, "Keluar!" Saat itu ketiga anak saya masih bermain di rumah tetangga. Saya mau memanggil anak-anak untuk pulang, saya pun berjalan menuju pintu depan rumah. Saya menyuruh mereka masuk, tapi mereka tidak mau masuk, saya sempat melihat wajah mereka seperti ketakutan. Saya terkejut karena pas saya di depan pintu saya lihat sudah turun dari mobil 30 orang bersenjata. Anak-anak saya diam tak bersuara. Pasukan berseragam hitam itu pun langsung menerobos masuk ke dalam rumah. Sebagian dari mereka masuk dari samping, ada juga yang masuk dari depan sambil melepaskan tembakan.
Saya sambil menggendong Fathur yang masih berusia tiga minggu, dua perempuan dewasa serta anak-anaknya ditodong senjata oleh pasukan itu. Sepasang daun pintu rumah kami diterjang oleh mereka. Tidak ada baku tembak, tidak ada perlawanan dari dalam rumah karena saat kejadian Bang Jali dan tamunya sedang sholat baru sampai surat al-Fatihah.
Tiba-tiba tiga makmum (Alek, Deni, dan Dani) keluar dari shaf (membatalkan sholat mereka) karena mendengar suara ribut tembakan dan segera mengetahui datangnya orang-orang bersenjata. Alek, Dani, dan Deni berlari menuju kamar mandi. Alek keluar dengan membobol seng (atap) kamar mandi. Orang-orang yang sudah masuk rumah menembaki Deni dan Dani secara membabi buta sewaktu mereka di depan kamar mandi.
Saya, dua perempuan dewasa yang bersama saya, si Fathur, dan anak tetangga yang masih balita menyaksikan kejadian itu. Ada dua orang laki-laki yang ditembak di kamar mandi, sedangkan satu orang lagi berhasil melarikan diri. Bang Jali dan seorang makmumnya, Abu masih tetap melanjutkan sholat, walaupun orang-orang bersenjata itu sudah masuk ke dalam rumah dan sampai ke tempat sholat. Bang Jali tetap melanjutkan membaca surah al-Qur'an. Tapi orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa Bang Jali, sholat Bang Jali dihentikan secara paksa. Buya ditendang saat sholat kemudian diinjak-injak hingga babak belur. Saya kasihan melihat Bang Jali karena saat itu dia sedang sakit. Bang Jali akhirnya diseret sama Densus. Karena tidak tahu apa-apa, dia hanya bisa meneriakkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Saya masih dalam todongan senjata bersama dua perempuan dan tiga anak-anak. Kami langsung disuruh ke rumah tetangga sambil di bawah ancaman senjata. Anak-anak saya dari tadi memang berada di situ. Saya dan anak-anak saya bisa mengintip (melihat dari sela-sela atau lobang) kejadian yang terjadi di rumah kami dari rumah tetangga. Anak-anak saya shock dan berteriak-teriak tanpa henti. "Ummi, Ummi itu Buya, itu Buya." Anak-anak memberitahu saya bahwa mereka juga melihat Buya diinjak-injak. Mereka menembaki rumah kami dengan membabi buta, walaupun saya sangat yakin Bang Jali tidak mempunyai senjata. Bang Jali hanya terus bertakbir, hanya itu yang bisa dia lakukan. Mereka menembaki walau tidak ada perlawanan. Dari luar mereka menembaki, di dalam juga menembaki, mereka dalam waktu satu jam itu menembak terus dengan membabi buta.
Tiba-tiba ada yang menggiring saya keluar, saya dibawa ke mobil Densus 88. Saya terus mencari Bang Jali tapi sudah tidak terlihat. Saya tengok suami kawan saya (Abu) dibawa ke mobil tak berapa lama. Densus membentak saya menanya saya di mana tas Bang Jali. Saya jawab (katakan), "Tengok saja sendiri." Mereka semua penakut, saya yang disuruh mengambil tas Bang Jali, mereka mengira ada granat, padahal tidak apa-apa di tas Bang Jali.
Satu jam kemudian polisi (dari Polresta Tanjung Balai) datang ke sana, polisi pun rupanya tahu apa-apa mengenai kejadian itu. Densus pergi begitu saja. Saya tidak tahu informasi ke mana Bang Jali dibawa, apakah Bang Jali dibawa ke Medan atau ke mana. Dari pihak Polres malah menanyakan sama saya ke mana Bang Jali dibawa Densus. Saya dinaikkan ke mobil Patroli Polresta Tanjungbalai dibawa ke kantor Polresta Tanjungbalai. Saya tidak dikasih pulang ke rumah.
Esok hari, tanggal 20 September, saya masih tidak dikasih pulang. Sebagian besar anggota Polres Tanjung Balai memperlakukan saya dengan baik, mereka kasihan melihat saya karena sedang menggendong bayi. Kapolresta baik sama saya. Dia bertanya, apakah mau pulang ke rumah mengambil baju? Saya sudah bilang kepada penyidik tentang status saya, tapi di sini saya tidak jelas sebagai apa, saya tidak tahu apa-apa, tahanan juga bukan. Kata penyidik tunggu kabar dari Medan saja, baru saya kasih informasi di sini.
Saya sedih karena Bang Jali tak bisa dijumpai, karena dia sudah babak belur dipijak-pijak dua puluhan orang. Mereka main serbu saja, mereka itu begitu datang tak ada basa-basi lagi. Dinding rumah kami rusak. Polisi pun tidak boleh lewat-lewat di situ selama satu jam itu. Padahal kan semua pakai peraturan. Polresta Tanjungbalai membantu saya mempertemukan saya dengan keluarga agar keempat anak saya tidak tinggal di tahanan. Saya dipinjami telepon oleh Polisi untuk menelepon adiknya agar saya bisa menitipkan anak-anak saya kepada keluarga kecuali yang bayi, karena dia masih harus disusui.
Hari itu sekitar pukul 9.00 WIB pagi saya pertama kali menghubungi keluarga. Saya mengabarkan bahwa saya sedang berada di Polresta Tanjungbalai, tidak boleh keluar karena hendak dijadikan saksi. Kemudian adik saya menjenguk kami ke Polresta Tanjungbalai hari itu juga. Posisi saya masih tidak jelas dan belum diperbolehkan pulang, padahal saya sudah di-BAP hari Minggu. Di sini saya dan Fathur yang masih bayi harus tidur dan hidup di sebuah ruangan yang menyerupai gudang kertas, hanya beralas tikar plastik. Kasihan saya melihat si kecilku.
Demikian surat kami yang tidak penting ini saya tujukan kepada Bapak Presiden bukan untuk apa-apa. Saya tidak memohon untuk dibebaskan dari semua tuduhan, saya tidak meminta belas kasihan, saya tidak mengharap reaksi Bapak sama halnya ketika menanggapi korban bentrokan di Ciketing, saya tidak menuntut apa-apa. Sama sekali tidak, Bapak Presiden. Dan untuk Bapak Kapolri, saya juga tidak menuntut apa-apa kepada Anda, justru saya berterima kasih anak buah Anda di Polresta Tanjungbalai telah berbaik hati menampung kami di salah satu ruangan sempitnya. Sekali lagi saya tidak mengharap banyak hal dari Bapak Kapolri.