kau duduk di ruang asing,
dengan hela pendek-pendek
seperti pulsa yang hampir padam.
Di balik daftar nama tak dikenal,
nomorku melayang tanpa jangkar,
mengetuk lengkingan suaramu---
yang bagiku adalah rumah,
tapi bagimu cuma gema
di antara dering yang tak kau undang.
Oh, kasih,
peluk aku dalam hembus call baringmu,
di detik ke-51 menit
kita bisa saling mengerti sunyi
sebelum waktu lebih dulu habis.
Kau ingin menjadi bayangan di dinding,
tak ditemukan oleh tujuan-tujuan asing.
Tapi dunia menunggu namamu
sebagai keinginan-keinginan yang terasing.
Bagaimana memangkas percakapan
yang lebih panjang dari lelah?
Di ruang tunggu, suara-suara terkoyak,
menjadi sinyal yang tercecer di udara,
tak pernah sampai pada connected call result.
Hari ini, kau ingin menjadi seluruh panggilan yang asing.
Tapi kau tahu, hanya ada satu cara
untuk menghapus suara-suara itu:
seseorang yang entah siapa,
dengan mata lisut dan lidah kelu,
mengangkat gagang telepon,
dan menjawab dengan satu kalimat
yang mengubah seluruh panggilan menjadi nyata---
"Ya, dengan saya sendiri."
Pada suatu kalut yang bobrok,
kata-kata ingin runtuh,
berhamburan ke udara,
dimakan karbondioksida,
terserap stomata daun,
lalu kembali sebagai oksigen
di dada yang terlalu sesak untuk sunyi,
di kepala yang terlalu riuh untuk damai.
Di dalam wartel yang remang,
bau tinta kertas telepon menguap di udara,
receh jatuh dan berguling ke sudut lantai,
gagang telepon dingin di genggamanmu,
seperti tulang belulang harapan yang nyaris lapuk.
Kau duduk dengan kepala menunduk,
mengepal gagang telepon seerat mungkin,
seolah-olah itu satu-satunya pegangan yang tersisa.
Di ujung kabel yang panjang dan dingin,
kau terus menyebut namanya,
"halo, selamat pagi, Rendy sayang..."
"Sayang...?"
Di seberang, ada seseorang yang mendengar.
Tapi ia memilih diam.