Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Sejak Berpenghuni 1972, Pekandangan Tanpa Listrik

16 Mei 2012   09:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:13 992 5

Dadang Tak Tahu Siapa Lionel Messi

“What a goal...magnificent” inilah kata-kata yang kerap diucapkan para komentator ketika seorang Lionel Messi menceploskan bola ke gawang lawan. Dalam industri sepak bola modern, pemain bola kaliber dunia telah menjadi santapan empuk media massa se-antero jagat raya. Mulai dari televisi, internet, radio, dan media cetak seolah berlomba untuk menampilkan para seniman kulit bundar.

Tidak hanya pada lapangan hijau, dari kehidupan pribadi hingga tayangan komersil berupa iklan terus digedur untuk memuaskan para pengidola. Wajar, jika ketersohoran para pemain bintang mampu menembus jutaan kota maupun desa yang ada di dunia, melalui perkembangan teknologi yang ada sekarang.

Namun, hingar bingar sekularisasi global tersebut kandas, ketika kaki melangkah di sebuah desa, di ujung Kecamatan Pubian, Lampung Tengah. Tepatnya di Dusun IV, Pekandangan. Sejak berpenghuni tahun 1972 silam, kampung ini tak kunjung menikmati listrik sebagai sumber utama kedigdayaan laju teknologi.

Masyarakat setempat baru mulai merasakan listrik di tahun 2008. Itu pun menggunakan tenaga surya melalui inverter yang ditransformasikan ke accu, hingga kemudian menjadi daya listrik ala kadarnya.

Awal Mei kemarin, Tribun Lampung mengunjungi desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Register 39 ini. Kampung Pekandangan terdiri dari empat dusun, dengan jumlah kepala keluarga sekitar 268.

Di kala siang, layaknya daerah lain, semua aktivitas terlihat normal.Namun, ketika sang surya mulai menarik diri, dunia seakan berbanding terbalik 180 derajat. Hanya terlihat beberapa rumah yang diterangi lampu.

“Itu yang hidup pakai lampu tenaga surya. Lewat inverter. Satu rumah satu lampu. Tapi enggak semua rumah,” tutur Dadang Wahyudin, Kepala Dusun IV, Pekandangan. Dari 33 keluarga yang tercatat di Dusun IV, hanya seorang warga yang memiliki televisi (TV).

Ironisnya, TV tersebut bagai milik satu dusun. Karena saat acara nonton tiba, hampir semua warga ikut nimbrung alias nonton bareng. Tapi, kebersamaan itu hanya berlangsung singkat. Karena tenaga matahari yang disimpan hanya mampu bertahan selama kurang lebih satu jam.

“Cuma satu yang punya TV. Tapi itu juga enggak bisa lama-lama. Tergantung sinar mataharinya. Paling tahan sejam kalau cerahnya dari pagi. Kalau hujan ya enggak bisa hidup semua,” ungkap pria murah senyum ini.

Meski telah mengenal TV sejak 2008, Dadang yang mengaku penyuka olahraga sepak bola ini tak tahu siapa Lionel Messi, sang mega bintang yang kerap menjadi sorotan kamera dalam lima tahun belakangan. Padahal, ketenaran titisan Maradona ini 1000 kali lipat jauh lebih tenar dari Presiden Argentina, Cristina Fernández de Kirchner.

“Enggak pernah nonton bola di TV. Kalau nonton kita mulai jam delapan sampai sembilan malam. Cuma ada beberapa TV (baca: chanel) yang dapat. Yang kita tonton film-film Indonesia itu (baca: sinetron),” ungkapnya.

Tak hanya Messi, Dadang sekeluarga pun tak pernah melihat Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP di TV. “Kalau di poster sama di baju sih pernah lihat,” terang pria yang dikaruniai dua putri dan satu putra ini.

Keinginan warga untuk menikmati aliran listrik, sesungguhnya sudah mulai dirasakan sejak tahun 2005. Dengan menghubungi agen-agen PLN. Namun, jawaban yang tak jelas membuat warga berusaha sendiri untuk menerangi Pekandangan.

“Malah kemarin itu katanya bulan Januari 2012. Ganti lagi, April 2012. Ya sudah sering lah. Tapi enggak ada yang pasti. Ke PLN sampai dewan itu semua sudah kita sampaikan,” keluh pria yang lahir di tahun 1972 ini.

Seringnya mendapat jawaban ketidakpastian, tidak lantas membuat warga Pekandangan dan Marga Jaya, tetangga kampung yang memiliki nasib serupa berkecil hati. Sekitar 57 warga kemudian menggunakan genset berbahan bakar solar untuk menambah daya listrik yang sebelumnya memakai invertor.

Alhasil, energi listrik mampu menghasilkan daya tahan selama lima jam. Dengan iuran Rp 40 ribu per bulan, setiap warga yang tergabung dapat menikmati sebuah lampu mulai pukul 18.00 hingga 22.30 WIB. Khusus pemilik TV, dikenai tambahan biaya Rp 50 ribu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun