Sadarkah kita bahwa overconsumption, fast fashion, dan influencer culture itu sudah membantu menormalisasi banyak perilaku yang negatif. Belanja baju baru setiap minggu itu tidak normal, memiliki beauty product segala range itu tidak normal, belanja luxury brand seperti belanja grocery itu tidak normal. Kita ketahui bahwa kecantikan telah menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan perempuan modern. Media sosial berperan besar dalam membentuk persepsi tentang kecantikan ideal, di mana influencer dan selebriti sering kali menjadi panutan. Ini menciptakan Fear of Missing Out (FOMO) di kalangan konsumen, mendorong mereka untuk membeli produk baru agar tidak ketinggalan tren. Dalam konteks ini, perempuan merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna, yang sering kali mengarah pada perilaku konsumtif yang berlebihan.Â
    Dilihat dari segi psikologis, hal ini berangkat dari standar kecantikan perempuan Indonesia yang selalu berkiblat pada kecantikan perempuan Asia Timur (Korea, Jepang, China). Padahal secara geografis pun warna kulit kita telah dirancang sedemikian rupa oleh Tuhan untuk lingkungan tempat tinggal kita. Kita perlu menyamakan persepsi bahwa produk kecantikan digunakan untuk merawat kulit agar tidak kusam bukan untuk putih, untuk mencegah jerawat bukan untuk menghilangkan pori-pori.Â
    Masalahnya kita tidak bisa terlepas dari kekuatan media yang berperan besar dalam melanggengkan standar kecantikan patriarkal. Majalah dan iklan sering kali menampilkan model-model dengan penampilan yang ideal sesuai dengan kriteria tersebut, sehingga memperkuat citra bahwa hanya perempuan dengan penampilan tertentu yang dianggap cantik. Meskipun ada upaya dari beberapa pihak untuk memperkenalkan representasi yang lebih beragam, banyak media masih mengedepankan citra-citra yang tidak realistis. Tekanan untuk memenuhi standar kecantikan ini juga berdampak pada ekonomi dan lingkungan. Banyak perempuan merasa perlu mengeluarkan uang untuk produk kecantikan dan prosedur estetika demi mencapai penampilan ideal. Hal ini tidak hanya membebani keuangan pribadi tetapi juga berkontribusi pada industri kecantikan yang sering kali tidak ramah lingkungan karena diproduksi secara cepat sehingga timbul tren Fast Beauty. Selain itu, industri kosmetik yang berfokus pada produk-produk yang menjanjikan hasil instan sering kali menggunakan bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
    Fast Beauty sendiri berarti tren industri kecantikan dimana produksi dan launching produk baru terjadi sangat cepat namun tidak bertahan lama, fenomena ini mirip dengan trend Fast Fashion. Misalkan merk A mengeluarkan lini produk untuk kulit berjerawat, beberapa bulan kemudian mengeluarkan produk baru dengan kandungan yang berbeda sedikit saja, kemudian digembor-gemborkan dengan kekuatan influencer menjadi produk dengan kandungan termutakhir, hal ini mnyebabkan konsumen yang sudah cocok dengan lini produk sebelumnya terpaksa beralih ke produk keluaran terbaru tersebut karena lini produk yang sebelumnya discontinue padahal produk baru itu belum tentu cocok.Â
    Tren Fast Beauty didorong oleh kebutuhan akan produk yang cepat, efektif, dan terjangkau. Perusahaan kosmetik berusaha memenuhi permintaan ini dengan meluncurkan produk baru dalam waktu singkat, sering kali tanpa memperhatikan kualitas atau dampak lingkungan. Hal ini menyebabkan banyak merek lokal kesulitan bersaing dengan produk impor yang lebih terkenal dan terjangkau. Akibatnya, banyak perusahaan lokal mengalami kebangkrutan karena tidak mampu mengikuti laju inovasi dan pemasaran agresif dari merek-merek besar. Kebanyakan produk yang menganut Fast Beauty ini berasal dari luar Indonesia. Saat ini pasar skincare global secara konsisten dikuasai oleh Amerika Serikat, Jepang, China, India, dan Korea Selatan.Â