Seperti sudah diduga sebelumnya oleh banyak pihak, rencana pembebasan sejumlah jalanan plus trotoar di Kota Makassar sebagai tempat parkir kendaraan dan bebas dari Pedagang Kaki Lima (PK-5), terbukti tidak dapat berjalan mulus. Rencana yang mulai didengungkan akhir tahun 2011 dan direncanakan akan diberlakukan efektif Pebruari 2012, diundur penerapannya dimulai nanti April 2012.
Alasannya, masih dibutuhkan pembuatan rambu petunjuk di sepanjang ruas-ruas jalan. Di samping penertiban belum dapat dilakukan lantaran Pemerintah Kota Makassar belum memiliki peralatan gembok yang dianggap cukup untuk mengunci kendaraan yang kedapatan memarkir kendaraannya di badan-badan jalan tersebut.
Umum tahu, ratusan ruas jalan serta trotoar di Kota Makassar selama ini bebas dijadikan sebagai lahan usaha parkir kendaraan. Justru 6 ruas jalan dan trotoarnya dipilih sebagai langkah uji coba penertiban bebas dari kendaraan parkir. Di antaranya, Jl.A.Yani, Jl. AP Pettarani, Jl. Urip Sumoharjo, Jl.Sultan Alauddin, Jl. Jend Sudirman, dan Jl. Ratulangi.
Mengamati kondisi sejumlah jalan sasaran uji coba, banyak pihak memastikan sampai April 2012 nanti juga rencana tersebut belum dapat dilaksanakan. Alasannya, selain sosialisasi penertiban yang terlihat kurang gencar dilakukan ke warga pengguna jalan di Kota Makassar, sampai saat ini belum terlihat ada langkah-langkah awal dilakukan oleh instansi terkait seperti penyediaan rambu-rambu atau semacam gladi kotor penerapan aturan.
Di lokasi-lokasi rencana penertiban mestinya saat ini secara bertahap sudah mulai dilakukan penghentian kegiatan-kegiatan perpakiran di badan jalan maupun di trotoar, mengingat waktu rencana penerapan yang sudah semakin dekat, yaitu April 2012. Yang terlihat, justru di beberapa titik di ruas jalan sasaran uji coba tersebut muncul kegiatan parkir baru yang dilakukan oleh mereka yang mengenakan seragam resmi petugas dari PD Parkir Makassar Raya.
Banyak warga yang menyatakan, dengan akan diterbitkannya Peraturan Walikota Makassar melarang kegiatan parkir di badan-badan jalan dan trotoar tersebut akan bernasib seperti sejumlah peraturan Walikota Makassar lainnya.
Ada warga yang mengistilahkan sebagai peraturan ‘Panas Tahi Ayam.’ Ketika awal dikeluarkan saja ada kesibukan di lapangan. Namun hanya selang beberapa hari kemudian tidak lagi mendapat pengawalan, dan seterusnya pelanggaran aturan dibiarkan terjadi kembali seperti keadaan semula tanpa ada penindakan.
Diberikan contoh, mengenai Peraturan Walikota Makassar yang tidak membenarkan dilakukan kegiatan pergudangan dalam kota selain di sekitar wilayah Kecamatan Biringkanayya dan Kecamatan Tamalanrea. Ketika mulai diterapkan, begitu ramainya sorotan bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut. Tapi kini, banyak Ruko di berbagai tempat di tengah kota yang terang-terangan terlihat bebas beraktivitas dijadikan sebagai gudang, tanpa ada penindakan dari pihak Pemerintah Kota.
Demikian halnya dengan Peraturan Walikota Makassar yang pernah melarang kegiatan kendaraan truk dan peti kemas (kontainer) beroperasi pada siang hari di dalam kota. Termasuk hanya dapat bergerak di jalur-jalur jalan yang telah ditetapkan. Namun kenyataannya sekarang, truk dan kendaraan peti kemas terlihat bebas malang melintang di jalan dalam kota pada siang hari tanpa ada pihak yang melarangnya.
Paling menonjol pelanggaran terhadap Peraturan Walikota Makassar No. 2 Tahun 2010 yang secara tegas melarang pemasangan segala bentuk atribut dan reklame di sekitar rumah ibadah, kantor-kantor pemerintahan, dan sekitar sekolah. Banyak terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini justru dilakukan ditempat-tempat terbuka yang setiap saat terlihat oleh para penguasa pengambil kebijakan, namun tetap dibiarkan berlangsung tanpa ada penindakan atau penertiban.
Salah satu contoh paling menonjol dapat dilihat setiap hari di pojok perpotongan Jl. Jend.Sudirman dengan Jl. Kartini (bagian timurKantor Pengadilan Negeri Makassar). Di situ justru dipasang sebuah papan pengumuman yang sangat jelas terbaca dilarang memasang reklame dalam bentuk baliho, spanduk, umbul-umbul dan semacamnya. Akan tetapi yang terjadi, setiap hari terlihat, di lokasi ini tak pernah sepi dari pemasangan silih berganti beragam reklame dan baliho-baliho event atau kegiatan berukuran besar dari pihak pemerintah maupun dalam bentuk atribut-atribut milik Parpol, tanpa pernah ada pihak dari Pemkot Makassar yang melakukan penertiban atau penindakan.
Ketika sejumlah Peraturan Walikota Makassar yang tak mampu ditegakkan tersebut dijadikan bahan diskusi oleh kelompok kajian multimasalah ‘Biring Tamparang’ di Makassar, Selasa siang (6 Maret 2012), justru mencuat masalah serupa yang lebih parah lagi.
‘’Jangankan Keputusan Walikota banyak yang macet tak bisa dilaksanakan, sejumlah aturan yang sudah ditetapkan dalam bentuk Perda alias Peraturan Daerah di Kota Makassar ini sekarang juga banyak yang mandul tak membuahkan hasil,’’ kata Halim, seorang peserta yangmemulai meluaskan kajian.
Dari sejumlah Perda di Kota Makassar yang dalam diskusi kemudian dikategorikan sebagai Perda Mandul, di antaranya Perda No.2 Tahun 2008 mengenai Pembinaan Anak Jalanan yang dinilai justru paling gagal. Lantaran Perda yang sosialisasinya dilakukan paling gencar beberapa waktu lalu, saat ini dalam kenyataannya tak dapat mencegah kian banyaknya anak jalanan setiap hari muncul sebagai pengamen atau peminta-minta di jalan-jalan umum Kota Makassar.
Pihak Dinas Sosial Kota Makassar sendiri beberapa waktu lalu juga pernah mengungkapkan, kewalahan mengatasi laju pertambahan anak jalanan di Kota Makassar yang sudah melampaui angka 3.000 orang.
Perda No. 15 Tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern termasuk dinilai tidak efektif, lantaran tidak dibarengi pengawalan aturan penataan dengan kemunculan banyak supermarket baru.
Kelompok diskusi kajian multimasalah tersebut juga menilai 5 Perda baru Kota Makassar yang disahkan akhir tahun 2011 lalu, yaitu Perda tentang Pengelolaan Rumah Kos, Perda tentang Retribusi Jasa Usaha, Perda tentang Jasa Umum, Perda tentang Prasarana, Sarana, Utilitas Kawasan, Industri, Perdagangan, Perumahan dan Pemukiman atau Fasilitas umum dan Fasilitas Sosial, serta Perda Pengelolaan Retribusi Pelayanan Persampahan dinilai berpotensi akan menjadi Perda mandul tanpa ada pengawalan penerapannya selama satu tahun sebelum diberlakukan secara efektif.
Dalam kesempatan diskusi, seorang peserta, Muh.Ilyas, menyatakan tujuan dan fungsi pembentukan suatu Perda benar-benar harus mendapat perhatian agar materinya dapat dilaksanakan secara efektif. Hal itu terutama harus mendapat kajian pertimbangan dari berbagai sudut oleh pihak legislatif dalam pembahasan, sebelum menetapkan Ranperda menjadi Perda yang biasanya konsepnya lebih banyak datang dari pihak eksekutif.
Apalagi, tambah seorang peserta diskusi, untuk pembahasan sebuah Ranperda menjadi Perda di Kota Makassar saat ini tersedia anggaran minimal Rp 300 juta. Lihat saja, tambahnya, DPRD Kota Makassar dalam tahun anggaran 2012 menargetkan penetapan 10 Perda dengan anggaran Rp 3,7 miliar. Dana tersebut termasuk untuk anggaran studi banding berkaitan dengan pembahasan Ranperda untuk ditetapkan menjadi Perda.
‘’Sayang dong, jika Perda yang sudah menguras waktu, pemikiran dan dana yang tidak sedikit kemudian tidak dapat mencapai fungsinya sebagai payung hukum berkait dengan penataan, penertiban, perlindungan atau penetapan sumber pendapatan daerah,’’ katanya.