Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Putra, Pemilik Kawali (Badik) Lagecong Mengapung di Air

11 Februari 2011   12:02 Diperbarui: 4 April 2017   18:15 65523 1

Dalam perbincangan dengan ayah dari 5 orang anak yang juga adalah Ketua Kerukunan Keluarga Soppeng (KKS) di Kota Makassar ini, mengaku mulai memiliki sebuah keris pada tahun 1973. Keris tersebut merupakan pusaka dari leluhur ibunya, yang dalam ceritanya dahulu dipakai sebagai benda bertuah. Pemegangnya diyakini akan terjauh dari marabahaya.

Mulanya, menurut Pak Putra -- panggilan akrab keseharian dari Putra Jaya MS, keris leluhurnya tersebut diterima dan disimpan begitu saja. Setahun di tangannya, ia lalu menelisik keris itu. Ternyata terjadi perubahan, rumah (warangka) keris terlihat membengkak, pecah seolah terjadi pengembangan.

Anak sulung dari 7 bersaudara pasangan keluarga Petta Mappesangka (ayah/alm) dan Petta Kursia (ibu) ini lalu berinisiatif mengganti warangka keris yang pecah kepada seorang ahli pembuat warangka di Kota Watansoppeng, ibukota Kabupaten Soppeng. Keris jenis Sapu Kala tak berluk ini, dahulu merupakan milik Datu (Raja) di Kerajaan Appanang, La Tenro Aji Matinroe ri Tenggana Appanang, yang memerintah dalam abad ke-17 di Soppeng. Akan tetapi, keris itu sendiri diperkirakan sudah dibuat sejak masa To Manurung di Sulsel, abad X.

Namun, menurut Pak Putra setelah dilakukan penggantian warangka badik tersebut, ia justru seringkali bermimpi menemukan badik-badik lainnya. Anehnya, katanya, biasanya dalam waktu dua sampai tiga hari setelah bermimpi, di alam nyata kemudian ada saja family (keluarga) atau tetangganya yang secara khusus datang dari Soppeng termasuk dari kota lainnya ke tempat kediamannya di Jl. Ratulangi V Makassar untuk memberikan kawali (badik) atau keris.

Mereka menyerahkan badik atau keris tersebut, menurut Pak Putra, dengan ikhlas kepada saya yang dikatakan berhak untuk menyimpannya. Begitulah proses yang terjadi sehingga sampai sekarang sudah lebih dari 200 buah kawali (badik) dan keris yang dimilikinya. Semua badik dan keris itu, diakui oleh orang yang memberikan sebagai pusaka leluhur dari masa Kerajaan Soppeng dahulu.

‘’Belum lama ini saya lihat keris La Tenro Aji itu seperti membengkak lagi, warangkanya pecah dan kerisnya seolah bertambah panjang hampir satu centimeter,’’ katanya.

Putra sendiri tidak memiliki keterangan lengkap mengenai riwayat semua kawali (badik) dan keris yang dimilikinya sekarang. Hanya beberapa yang diketahui. Di antaranya, sebilah keris yang bernama Welua Tassappena Gowa, yaitu badik perang milik Raja Bone Aru Palakka yang ditemukan di area Benteng Somba Opu, Makassar. Keris ini berlekuk (luk) tiga.

Berikutnya, ada kawali (badik) La Gecong Daun Nipa (terbuat) dari daun pohon Nipa. Badik ini oleh pemiliknya disebut dahulu dipakai dengan maksud mempunyai tuah melindungi wilayah kerajaan atau pasukan perang dari ancaman bahaya. Inilah salah satu dari ratusan badik dan keris koleksinya yang dapat mengapung di atas permukaan air. Badik ini, menurut pemiliknya dibuat pada masa Kerajaan BuluE, sebelum masa To Manurung di Soppeng di bawah abad X.

Ada pula sebuah badik yang berukuran kecil, panjang sekitar 10 cm, yang oleh pemiliknya dikatakan dahulu dipakai sebagai alat bantu dalam mengadili perkara seseorang. Jika isi badik itu dikeluarkan lalu diletakkan di atas warangkanya, ujungngnya akan selalu berputar mencari arah utara. Seperti magnet pedoman pencari arah. Di hadapan orang yang diadili, apabila badik ini berputar mencari arah maka yang bersangkutan dinilai mempunyai kebenaran. Jika hal itu dilakukan dihadapan orang yang benar memiliki kesalahan, badik akan jatuh ketika diletakkan di atas warangkanya.

Dari pengalaman mengoleksi ratusan badik dan keris pusaka, berdasarkan keterangan dari para pemiliknya, Putra justru dapat memahami bahwa kawali (badik) atau keris yang digunakan para leluhur di Soppeng atau Sulsel dahulu, tak semata sebagai alat senjata perang untuk membunuh, tapi banyak yang justru dibuat dalam kaitan untuk keselamatan dari marah bahaya, kewibawaan, dan simbol kedudukan raja-raja. Bahkan, katanya, ada badik dan keris yang justru dijadikan sebagai alat bantu kesuksesan dalam usaha pertanian, pelayaran, perdagangan maupun untuk perekat persahabatan.

Tuah kawali (badik) dan keris, menurut Pak Putra, dapat dilihat dari bentuk pamornya. Umunya badik dan keris yang dikoleksi saat ini terbuat dari batu meteor (wase Langanro), bukan besi. Beberapakali Pak Pute membuktikan sendiri, ketika ia menyelipkan kawali (badik) itu di pinggangnya, justru tak terdeteksi ketika melewati alat sensor detektor yang dilakukan di sejumlah Bandara.

Kawali (Badik) orang Bugis – Makassar yang lebih cenderung disebut dengan nama Kawali oleh Pak Putra. Ciri pembedanya dengan keris dilihat dari matanya yang hanya tajam sebelah. Sedangkan keris kedua matanya tajam, serupa mata tombak. Kawqali (badik) dan keris koleksinya dibersihkan dari karat sekali dalam setahun dengan cara tradisional, menggunakan air dari perasan jeruk nipis.

Dalam awal-awal tahun mengumpul pemberian badik dan keris, Pak Putra mengakui pernah mengalami hal aneh. Lemari tempat pengumpul benda-benda leluhur tersebut pada malam hari, sering terdengar terketuk-ketuk. Seolah badik dan keris itu beraduk-aduk. Bahkan pernah ada sebuah badik yang setiap kali ditinggalkan di kamar tempat tidurnya, orang lain justru takut masuk karena mendapatkan seekor ular yang meliuk-liuk di atas kasurnya.

‘’Setelah saya tidak menaruh badik itu di kamar, tak pernah lagi ditemukan ular. Aneh, tapi dengan kalimat Allah semua hal yang terjadi tersebut telah tiada, badik ya badik, keris ya tak lain adalah keris,’’ katanya.

Sudah silih berganti orang yang datang hendak membeli sejumlah kawali dan keris yang dimiliki. Bahkan dengan tawaran nilai rupiah yang amat menggiurkan, sampai ratusan juta, tapi Pak Putra tak melepasnya. ‘’Ini warisan leluhur yang diamanahkan orang untuk saya simpan dan pelihara,’’ katanya.

Kawali (Badik) dan keris yang dikoleksi ada yang disebut Gecong Maddaung Ase, Gecong Batu, Luwu Sambang, Luwu Kaleo dan sebagainya. Mulai dari yang berlekuk (luk) 3, 5, 7 hingga 9. ‘’Dulu saya juga punya keris yang berlekuk 11 dan 13, tapi belakangan saya ketahui itu keris asal Pulau Jawa, dan saya telah berikan kepada rekan di Pulau Jawa,’’ jelas Putra Jaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun