Mungkin pada saat itu lawan bicara kita hanya tertawa dan juga menganggap itu lelucon. Tapi tidak dengan hati kecil... akumulasi perkataan itu akan terekam jejaknya dalam pikiran dan perasaan, mungkin sekarang ngga apa-apa, akankah ngga apa-apa itu tetap menjadi ngga apa-apa ketika dia mengalami stress dan depresi? Tindakan extreem dari seseorang terhadap dirinya dan orang lain itu bisa terjadi jika yang dikatakan sebagai 'ngga apa-apa' itu berubah menjadi 'apa-apa'.
Saya pernah bicara banyak dengan seorang anak yang kata ibu, bapak dan saudaranya, dia adalah anak yang sulit, anak yang aneh sendiri, anak yang ngga mau nurut apa kata orang lain, anak yang ngga pernah bisa diatur, anak yang keras hati dan keras kepala. Dalam pembicaraan yang terjadi beberapa kali, saya menangkap bahwa anak tersebut adalah berbanding terbalik dengan semua yang orang tua dan saudaranya katakan. Anak ini adalah anak yang paling toleran dengan keadaan dibanding orang disekelilingnya, anak ini adalah anak yang paling memahami lingkungannya karena dia selalu diposisikan sebagai pengamat saja bukan pengambil keputusan. Anak ini adalah anak yang paling lembut hatinya dan punya jiwa sosial sangat tinggi. Mengapa dia menjadi aneh dan berbalik sikap terhadap keluarganya?
Anak ini sebut saja Anto yang seorang anak bungsu selalu menjadi bulan-bulanan kakak dan orang tuanya, kebetulan Anto ini lahir disaat kakaknya sudah besar semua, dan ayahnya menjelang pensiun. Stress menghadapi anak yang mulai menginjak remaja dan Stress memikirkan kondisi akan pensiun itu yang memicu sikap berbeda dari orang tua Anto terhadap anaknya.
Orang tua Anto menginginkan Anto cepat bertumbuh dan mandiri, jadi mereka mengasuh dan mendidik Anto ala orang dewasa, padahal pada saat itu belum saatnya Anto untuk dipaksakan dewasa karena memang dia masih anak-anak, yang terbatas pola dan cara berpikirnya. Anto juga dipaksa untuk menjadi seperti kakaknya dan ketika dia tidak bisa mengikuti /kekelahan untuk membuat orang tuanya senang, maka si orang tua ini sering menjudge dan mengeluarkan statement yang negatif.
Anto si anak usia 7 tahun ini menjadi depresi yang terselubung, dia tidak bisa menunjukkan kelelahannya, jika kelelahan itu terlihat, bukan belaian untuk menenangkan yang dia dapat melainkan hinaan yang lebih dalam, sehingga daripada terus "dimarahi" menurut Anto mendingan dia diam. Diam-nya diapun tidak mendapat respon yang baik dari keluarganya, karena diam itu dia disebut aneh. Serba salah... diam salah, komplain salah. Akibatnya si Anto merasa dirinya tidak diterima oleh keluarganya, perasaan ini yang memicu tindakan-tindakan yang bisa disebut "nakal diluar batas".
Anto pernah terlibat pencurian di sebuah departemen store pada usia 5 tahun, Anto pernah terlibat perkelahian yang menimbulkan luka karena benda tajam pada usia 6 tahun, Anto pernah menghantam temannya dengan bambu ketika dia berusia 6 tahun, Anto pernah berniat membunuh bapaknya, karena merasa dipermalukan ketika sang bapak memarahinya sambil menelanjangi dan memukulnya di pasar. Salahkah Anto? NGGAK! bukan Anto yang salah, dia anak yang belum bisa memanage kekecewaan, dia anak yang belum tahu cara bagaimana meluapkan emosi... jangankan Anto yang sekecil itu, saya belum tentu bisa memanage perasaan negatif dengan baik.
Ketika saya tanya mengapa kamu berbuat kenakalan seperti itu? Jawaban Anto membuat saya tersedak, "Saya ngga bakal nakal kalo kakak adalah ibu saya... kakak mau nanyain saya, kalo ibu saya boro-boro nanyain saya, ngomong sama saya ajah malas. Ibu saya bukan ibu... kak. Ibu saya hanya seorang perempuan yang ada dirumah sebagai penjaga rumah kaya anjingnya rumah depan, bisanya cuma menggonggong dan mau gigit orang. Bapak saya adalah setan paling kejam di neraka... kalo kakak tanya neraka itu apa, saya bisa jawab, neraka adalah keluarga saya. Saya ingin dicintai kak... bukan dihakimi! Saya pengen di tanya sebagai manusia bukan diperintah kaya anjing, yang disuruh masuk ya masuk, disuruh makan ya makan..."
Pertanyaan kedua saya adalah apakah dia mau memaafkan orang tua dan saudaranya, sekali lagi Anto membuat saya tersentak, "Kak, aku ngga dendam kok sama ayah dan bunda, sama kakak-kakak... apa yang mereka lakukan kan baik sebenarnya, mereka pengen aku cepet mandiri dan dewasa, sehingga ngga nyusahin mereka lama-lama. Aku ngga mau nyusahin mereka kak, aku sayang sama mereka, aku mau kok nukar nyawa aku dengan nyawa mereka kalo mereka butuh nyawa lebih panjang... aku cuma mau di sayang ajah... itu ajah kak. Mereka ngga salah kok, mereka benar menurut mereka... tapi kalo kakak tanya gimana menurut aku, ya aku cuma mau mereka nyapa aku sekali ajah. Karena mereka ngga salah apa yang harus dimaafkan kak? yang harusnya minta maaf itu aku, karena aku yang banyak nyusahin mereka..."
Pertanyaan ketiga saya adalah jika orang tua dan saudara kamu sudah menjadi apa yang kamu mau, apakah kamu mau berubah? "Saya ngga mau berubah kak, saya mau jadi diri saya sendiri, tapi saya janji saya tidak akan melakukan hal-hal yang menyusahkan mereka, apapun bentuknya itu, saya akan menjadi penurut sepenuhnya. Saya mau menukar diri saya selamanya dengan belaian ibu dan usapan bapak dikepala saya satu kali saja."
Perbincangan demi perbincangan, saya banyak mendapat insight dari seorang Anto yang masih kecil dengan banyaknya pengetahuan baru seberapa dalam sakit hatinya seseorang jika sering kali diberi emosi negatif. Sayang guru kecil saya ini sudah pergi untuk selamanya karena penyakit pernapasan yang dideritanya akibat hobby nge-lem yang dilakukannya. Dan saya merindukan sosok Anto yang sangat kooperatif, sangat penuh pemahaman akan orang lain, sangat lembut dan sabar menghadapi hidupnya, sangat penuh cinta terhadap siapapun tanpa pernag melihat apakah orang itu telah menyakitinya atau tidak.
I MISS U MY LOVELY GURU! (seperti kata lo sebelum pergi, "elo jangan nangis kalo gue mati ya kak... cari ajah anak lain kaya gue yang butuh kasih sayang, elo sayangi dia kak... kalo gue abis ini mah udah tenang dan enak, ngga sakit lagi")