Di pemerintahan dan kekuasaan persyaratan pendidikan sering diterabas dengan nekat. Banyak sarjana abal-abal yang ijasahnya keluar karena skripsinya dibuatkan oleh lulusanseorang yang hanya smea yang membuka jasa pembuatan skripsi. Bahkan beberapa tahun lalu pernah marak kasus S2 lulusan PTN ternama yang tesisnya kembar dengan tulisan yang ada di tukang loak.
Dengan kualitas pendidikan yang demikian tidak heran jika kualitas DPR kita cenderung abal-abal. Undang-undang yang dihasilkan juga undang-undang yang akan segera dilanggar dengan cara merevisi sesuai kebutuhan perut. Banyak undang-undang yang dibuat tidak jelas (tidak transparan) arahnya, tumpang-tindih dan saling melemahkan.
Jika terhadap diri pribadi saja tidak mau memiliki komitmen, maka orang yang demikian tidak akan dapat diharapkan bagi negara. Contoh nyata terakhir adalah pernyataan anggora DPR DKIJakarta yang mendorong warga Bantaran kali untuk membunuh Ahok sebagai pemimpin daerah.
Prabowo, anggota DPR DKI tersebut mendorong warga untuk membunuh Ahok karena Ahok telah dengan tegasmenegakkan aturan. Sudah sejak jaman orde baru peraturan pelarangan pendirian bangunan bahkan penguasaan jalur hijau digembar-gemborkan. Setiap sore TVRI dan TV swasta yang baru merintis usaha media pada waktu itu selalu menayangkan himbauan pelarangan tersebut (kebetulan waktu itu saya melihat hanya TV sore hari). Rasanya peraturan pelarangan penguasaan jalur hijau telah mencapai seluruh nusantara dan tidak pernah ada gugatan ke MK terhadap aturan tersebut, sehingga mestinya sebagai warga negara tidak perlu kita berdebat mengenai aturan yang sudah tertanam dalam benak kita tersebut.
Mungkin Prabowo bukanlah orang yang mengerti bahasa Indonesia dengan benar, sehingga sulit memahami peraturan yang di tuliskan dalam bahasa yang memang berkesan berbelit-belit tersebut. Hampir setiap peraturan dan perundangan dituliskan dengan bahasa yang bagi saya berputar-putar dan sulit di pahami, namun dengan seiring waktu berjalan, saya sedikit demi sedikit bisa mencerna aturan apa yang dikehendaki pembuatnya.
Menjadi lucu jika warga negara yang mestinya didorong taat pada aturan negara justru disemangati untuk membunuh pemimpinnya sendiri yang terpilih menjadi pemimpin berdasarkan pemilihan umum. lalu apa gunanya kita melakukan pemborosan demokrasi itu jika setiap pemimpin yang terpilih harus digulingkan hanya karena segelintir orang berduit yang kalah dalam pestanya.
Menjadi sangant terang benderang saat ini mengapa Jakarta sebagai ibu kota negara selalu berputar-putar pada masalah sederhana setiap tahunnya. Banjir dan macet menjadi sorotan utama yang mudah dilihat untuk mengalihkan perhatian nasyarakat dari penyakit kronis korupsi. Dan menjadi sangat terang benderang di mata masyarakat jaman ini siapa saja para dedengkot koruptor yang sulit digelandang ke penjara.
Dengan memanfaatkan peristiwa sederhana seperti kisruh pelanggaran milik negara di ancol ini, para dedengkot koruptor terus berusaha menyingkirkan orang-orang yang berusaha tegas dan jujur membangun wilayahnya. Memanfaatkan masyarakat yang hobi melanggar hukum para petinggi bangsa yang terhormat tetap terhormat meskipun dapat menghancurkan anak bangsa seperti Ahok. Rasis terhadap akan bejalan dengan sendirinya hanya dengan sedikit komentar di media. Selanjutnya penggulingan diharapkan lebih mudah dan panggung korupsi akan terus berkibar di jagat Indonesia.