Toto-chan, The Little Girl at The Window, salah satu novel karya Tetsuko Kuroyagi yang cukup dikenal. Kisah masa kecil yang menurutku sarat dengan inspirasi bagi dunia pendidikan. Konsep sekolah yang fun dan gambaran orangtua yang tetap bijak menyikapi anaknya yang dianggap “nakal”. Coba kalau semua guru bahkan orangtua membaca buku ini ya. Konsep anak “nakal” diubah menjadi anak yang banyak ber”akal”. Sangat mungkin, banyak totto-chan sukses di negri ini.
Saat boleh melayani ibu trimester tiga di Antenatal Care banyak ibu yang berharap (sambil mengelus kandungannya) “Anakku sehat, semoga anakku pinter berguna bagi agama, orangtua, serta nusa dan bangsa”. Padahal ini anak masih dalam kandungan lho. Bayangkan betapa kesehatan dan kepandaian ini kini menjadi harapan semua orang.Memang, sekolah menjadi salah satu hal yang paling berharga setelah kesehatan. Dapat dikatakan kombinasi antara kesehatan dan kepandaian adalah salah satu modal hidup.
Harapan banyak orang tentang anak-anaknya yang pandai menjadi salah peluang bagi sebagian tenaga pendidik untuk mewujudkannya. Tak khayal banyak sekolah menjamur dengan berbagai keunggulan yang ditawarkan. Mulai dari sekolah berbasis keagamaan, teknologi canggih, atau bahkan sekolah mendeklarasikan dirinya “sekolah internasional”. Semua sekolah ini seolah menjamin bahwa anaknya pasti pinter kalau sekolah disini.
Yang menjadi masalah adalah ketika anak yang dituntut serba pandai dan telah berada dilingkungan yang menurut orangtua tepat, tetap saja dianggap kurang pandai. Ini salah siapa? Gurunya? Orangtuanya? Atau memang keberuntungan anak saja yang kurang pandai diantara teman lainnya? Sebutan serba negatif dari anak” OON”, “dong-dong”, sampai “ anak nakal” haruskah melekat padanya?
Coba kita simak satu persatu. Gambaran Ini saya dapatkan ketika saya bolehberada disalah satu Taman Kanak-kanak selama sebulan.
Guru: “Anaknya aja yang susah, lainnya juga saya ajari pelajaran yang sama bisa kok. Ini sudah dikasih les juga tapi ya tetap seperti ini. Atau mungkin Kurang stimulasi di rumah kali. Lha disini kan Cuma 4 jam saja. Lebih banyak bersama orangtua to?”
Orangtua: “ya saya kan sudah bayar mahal. Waktu saya ya buat kerja. Kalau saya tidak kerja siapa yang nanggung biaya sekolahnya? Saya mau ngajarin juga susah.”
Anak: “Aku pengennya maen kok , bosen!”
Hmm, no comment. Kalau dilihat dari gambaran yang seperti diatas betapa akan lebih menyenangkan tukang cilok dengan tetekan bambunya dari pada buguru dengan suara merdunya coba. Betapa lebih menyenangkan “nggigitin pensil” daripada nulis huruf dengan paksaan. Betapa lebih menyenangkan lari-lari muterin kelas dari pada duduk diam dan belajar berhitung. Bahasa nonverbal yang menyatakan “saya bosan, saya lebih pengen maen tau!!”
Kalau pun dilihat dari tahap perkembangan anak. Ini hal yang sangat wajar. Wajar sekali. Yang nggak wajar itu yang orang dewasa yang belum menyadari kewajaran ini. hehehe
Coba ada pak Kobayashi. Sepertinya dia tau bagaimana harus menyikapi keadaan ini. Betapa sering orang dewasa menempatkan posisi mereka seperti orang yang sok dewasa. Betapa sering orang dewasa memaksakan kehendak. Betapa sering seorang dewasa justru lebih egois dari anak kecil yang dianggap paling egois.
Kadang perlu melihat potensi dari segala sisi. Setiap anak diciptakan dengan akal dan kepandaian oleh sang khalik, setiap orangtua dilengkapi dengan kesabaran dankebijaksanaan, dan setiap guru dilatih dan telah berproses untuk menjadi guru “digugu lan ditiru”.
Pasti akan menyenangkan kalau sekolah sekolah berbasis keagamaan, teknologi canggih, atau bahkan sekolah mendeklarasikan dirinya “sekolah internasional” adalah sekolah yang FUN bagi anak. Proses belajar tidak membebani, “senengnya dapet pinternya dapet”.