Pada awal masa berdirinya lembaga perguruan tinggi (terutama negeri), kesempatan terbuka lebar bagi pemuda bangsa untuk mengecap pendidikan tinggi yang berkualitas. Saat itu Indonesia sedang mengalami krisis karena penjajahan oleh bangsa Belanda yang berlangsung dalam kurun waktu beratus tahun. Adanya kesempatan itu tentulah merupakan angin segar bagi kemungkinan untuk mengadakan perlawanan terhadap bangsa penjajah. Dari sana, bermunculan tokoh yang mencetuskan ide-ide pembaharuan sebagai bentuk kepedulian yang tinggi terhadap bangsa Indonesia.
Dalam salah satu studi literatur, Partanta [2001] menemukan fakta tentang kehadiran para mahasiswa ini ternyata merupakan produk situasi atau didorong oleh perubahan sikap politik pemerintahan kolonial Belanda terhadap Indonesia. Melalui kebijakan "Politik Etis" yang diciptakan Belanda setelah menjajah lebih dari tiga ratus tahun di atas bumi pertiwi, kaum pribumi khususnya lapisan pemuda, mendapatkan kesempatan untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang telah didirikan oleh Belanda. Walaupun dengan batasan lapisan masyarakat, lembaga pendidikan, dan keterbatasan fasilitas pendidikan yang ada, sehingga banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus baik, atas bantuan pemerintah Belanda, dikirim ke luar negeri (kebanyakan ke negeri Belanda) untuk melanjutkan studi mereka.
Para mahasiswa awal dekade ini membentuk sebuah wadah organisasi terstruktur yang diberi nama Budi Oetomo. Seiring berjalannya waktu, mulailah bermunculan organisasi lain yang anggotanya merupakan "keluaran" dari Budi Oetomo, karena mereka beranggapan bahwa lama kelamaan Budi Oetomo mengarah pada perpolitikan. Hal ini akhirnya dijadikan representatif dari sikap kritis dan keresahan intelektual yang mereka rasakan pada saat itu.
Banyaknya organisasi yang dibuat, membuat para mahasiswa dapat memilih wadah yang tepat untuk menampung aspirasinya dan sebagai media alternatif untuk mengembangkan potensi kekuatan secara lebih bebas pada masa itu, hingga fungsinya lebih berkembang pada masa sekarang.
Sejalan dengan berakhirnya penjajahan oleh bangsa Belanda dan bangkitnya perjuangan nasionalisme, Indonesia kini memiliki pemerintahan berdaulat dengan asas demokrasi Pancasila yang dianutnya.
Beralih pada konsep demokrasi, menurut Israil [2005] hal tersebut merupakan kekuasaan yang menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga. Demokrasi itu sendiri secara bahasa dapat diartikan dengan pemerintahan yang berada di tangan rakyat.
Menurut konteks penerapan di Indonesia, demokrasi merupakan perwujudan dari aspirasi rakyat, kemudian diolah oleh suatu badan pemerintahan yang terdiri dari wakil rakyat terpilih melalui pemilihan umum, agar tercipta kemakmuran dan ketentraman dari rakyat itu sendiri. Dengan kata lain, demokrasi membolehkan seseorang untuk berpendapat, membentuk partai politik, kebebasan pers, juga kebebasan untuk membentuk organisasi dan berkumpul [Powell, 2003].
DEMOKRASI = DEMONSTRASI (?)
"Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia."
-Soe Hok Gie-
Memandang jauh sebelum dan saat era reformasi dimulai, aksi demonstrasi kerap kali dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah. Mereka menganggap bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan konteks yang terlaksana. Demonstrasi yang terjadi disini masih murni sebagai bentuk kepedulian para mahasiswa dengan rasa nasionalisme tinggi terhadap perkembangan negeri.
Banyak obrolan-obrolan ringan yang berujung pada debat kusir antara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainnya mengenai arti pentingnya berunjuk rasa sebagai media alternatif penyampaian aspirasi. Salah satunya berpendapat bahwa demonstrasi merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan asas RI sebagai negara yang memberikan kebebasan berpendapat. Akan tetapi, masihkah konteks ini sama dengan demonstrasi yang berujung pada aksi anarkisme dan bentrokan massa? Tentu berbeda.
Sedikit membahas tentang aksi penolakan Sidang Istimewa (SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1998 oleh ribuan mahasiswa Indonesia dari seluruh pelosok negeri. Banyak media menilai bahwa MPR selama ini sukar diketahui kejelasan dari fungsinya karena bukannya "menentukan dan diikuti" tetapi malah "mengikuti dan ditentukan" oleh rezim orde lama dan orde baru [Majalah Tempo, 1998]. Menurut para mahasiswa, ini semua dikarenakan Dwifungsi ABRI/TNI yang membuat MPR takluk. Hal tersebut merupakan salah satu penghalang bangsa Indonesia untuk maju. Tidak dapat disangkal bahwa Orde Baru membawa kemajuan bagi negara namun bila Dwifungsi disingkirkan akan menghasilkan kemajuan yang jauh daripada yang telah diperoleh [semanggipeduli.com, 2010].
Penolakan tersebut berujung pada aksi unjuk rasa yang dimulai dengan pendudukan Tugu Proklamasi dan bergerak ke tempat berlangsungnya SI. Setelah berkumpul dari segala arah gedung DPR/MPR, mereka mencoba masuk untuk menyampaikan pendapat tentang penolakannya. Akan tetapi, bentrokan dengan aparat keamanan tak dapat dielakkan lagi, dan terjadilah peristiwa tembak menembak yang akhirnya mendapat perhatian khusus dari berbagai masyarakat nasional maupun internasional.
Apabila melihat dari sudut pandang masyarakat awam, aksi penembakan tersebut merupakan sepenuhnya kesalahan dari aparat keamanan yang tidak berperikemanusiaan hingga menjadikan akhir yang anarkis sebagai timbal balik dari keadaan unjuk rasa oleh mahasiswa tersebut. Namun, sebenarnya siapa yang benar-benar patut disalahkan? Mahasiswa-kah? Aparat-kah? Keduanya tak ada yang patut untuk sepenuhnya disalahkan. Inilah negara demokrasi, semuanya bebas berpendapat dan unjuk rasa wajar ada sebagai bentuk lain dari "aspirasi tak didengar" rakyat kepada penguasa. Pun dengan aparat yang terpaksa menembak dan menimbulkan anarkis karena mereka semata-mata menjalankan tugasnya untuk menjaga kelancaran SI.
Seperti yang telah diulas sebelumnya tentang hakikat mahasiswa sebagai golongan yang sedang mempersiapkan dirinya untuk mengemban tanggung jawab sebagai manusia dewasa sepenuhnya, aksi unjuk rasa bisa dijadikan sebagai titik acuan kesiapan dan kesigapan kaum intelektual muda untuk menggantikan peran generasi sebelumnya dalam memimpin bangsa.
Menjawab pertanyaan tentang apakah demonstrasi diperlukan, hal tersebut sebenarnya tidak begitu perlu. Berhubung demonstrasi yang terjadi di negeri ini sering mengganggu ketertiban umum,dlsb.
Sebagai calon pemimpin bangsa masa depan, memang tidak adakah jalan lain yang bisa ditempuh selain dengan unjuk rasa? Jikalau masalah yang ada seperti pada kasus tahun 1998, mungkin hal tersebut masih dapat diterima. Akan tetapi, seiring berubahnya zaman, sebelum penentangan kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM,dll. Sebaiknya telaah lebih dulu maksud dan tujuan kebijakan tersebut dari berbagai sisi. Jangan sampai mahasiswa yang notabene memiliki pendidikan tinggi, mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang berkepentingan khusus. Kalaupun ingin berunjuk rasa, mengirimkan beberapa orang yang dianggap pandai bernegosiasi untuk berbicara baik-baik tanpa menganggu ketertiban umum itu sudah cukup.
Kalau boleh melihat dari sudut pandang seorang demonstran, selama ini cara pemerintah melihat reaksi rakyat hanya berasal dari media. Apa yang media katakan tentang reaksi baik dari rakyat, pemerintah akan berkoar-koar memuji diri karena telah berhasil memajukan negeri dengan programnya. Sebaliknya, jika reaksi yang didapat negatif, pemerintah seolah terus meninabobokan rakyat dengan janji perbaikan. Saat seperti inilah yang membuat para demonstran melakukan aksinya baik yang memang benar-benar bertujuan memajukan bangsa maupun memajukan kelompoknya.
Makadari itu mahasiswa dengan perannya sebagai kaum intelektual tentunya harus dapat berpikir lebih luas tentang konsep penyampaian pendapat yang lugas dan dapat didengar oleh semua pihak yang dituju.
Penelaahan berbagai kebijakan baik publik maupun politik dari pemerintah perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan penyampaian protes ataupun hal sejenisnya. Sungguh tidaklah bijak apabila kaum terpelajar berkoar-koar memprotes sesuatu hal yang tidak mereka mengerti antara maksud dan tujuannya.
Sebagai negara demokrasi, pemerintah harus bisa bertindak secara cermat dan tepat guna memajukan negeri ini dengan benar-benar memperhatikan apa yang dirasakan dan diharapkan oleh rakyatnya.
salam mahasiswa