Pengantar.
Dengan makin narsisnya foto para calon gubernur DKI di media cetak, elektronik sampai yang merusak keindahan lingkungan kita melalui spanduk dan pamfletnya, hal itu tentu membangun kesan tentang mereka dalam pikiran kita. Sah-sah saja mereka narsis dalam rangka kampanye merebut hati pemilih. Sebaliknya, sah juga bagi kita memberi kesan atau menertawakan kenarsisan tampang mereka.
Nah, dari pengalaman saya mengamati tampang para cagub dari penampilan mereka, berinteraksi langsung dengan sebagian dari mereka, termasuk orang dekat dan pembantu para kandidat itu, mari urai kesan kita satu-persatu (tidak berdasar urutan KPUD) pada artikel ke dua ini:
Fauzi Bowo
Ahaa… ini dia yang ditunggu-tunggu. Agak panjang uraiannya.
Saya pertama kali mengenal Bang Foke sekitar 12 tahun lalu (tapi mungkin dia ga kenal saya :D). Waktu itu kalo ga salah dia masih salah satu wakil atau asisten Gubernur Sutiyoso. Tapi kompas.com menerangkan karirnya waktu itu sebagai Sekretaris Wilayah Daerah DKI. Entahlah, mungkin saya yang salah.
Pada saat itu, dia memang sudah digadang-gadang sebagai calon Gubernur. Golkarlah penggadangnya. Tahu sendiri, dulu hampir semua birokrat apalagi pejabat adalah kader Golkar. Kans Foke lebih kuat lagi karena dia suku Betawi, yang sepanjang Indonesia merdeka belum pernah jadi Gubernur di kampung sendiri. Kita tahu setelahnya pada Pilgub oleh DPRD tahun 2002 Foke terpilih mendampingi Sutiyoso.
Nah, setelah Bang Foke jadi wakil gubernur, beberapa kali saya bertemu. Dari situ saya lihat Foke dengan kumisnya sebagai sosok yang menjanjikan sebagai gubernur mendatang (Pilgub 2007). Dia tampil tidak seperti banyak orang Betawi (yang saya kenal) yang nyablak dan suka cengengesan. Bang Foke tampil tegas dengan kata-kata lugas.
Tapi di sisi lain, saya punya kesan lain. Bang Foke tampaknya lebih suka didengar daripada mendengar. Dalam sebuah pertemuan roundtable, Bang Foke seringkali ngobrol pada saat orang lain bicara, atau dia alihkan pandangannya bukan pada orang yang berbicara dengan dia (bukan saya lho :D). Bang Foke juga cepat tersinggung bila dia mendengar ucapan yang tidak sejalan dengan konsep dia, apalagi mengkritiknya, spontan bisa ngamuk dia (kalo ini mungkin sudah banyak yang lihat ya). Tapi bila dia mendengar orang yang memuji atau mendukung konsepnya, seketika dia mengangguk-angguk tersenyum senang. Wah-wah, walau saya bukan psikolog apalagi psikiater, saya merasa ada kelainan ini, hemmm…. Lihat juga fotonya. Dengan senyum terkesan terpaksa, Bang Foke sepertinya menyembunyikan kepribadian lain yang mungkin sudah anda tahu, hehehehe....
Pada waktu Bang Foke jadi Gubernur. Tidak sedikit dari pendukung elitnya yang kecewa, termasuk wakilnya yang sama-sama kita tahu (Prijanto). Ga percaya? Tanyalah kepada Bang Biem Benyamin (dulu Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi). Kalau mau jujur, tanyakan juga Bang Nachrowi Ramli yang terpaksa ‘dikawinkan’ oleh penghulu SBY kepada Foke. Gaya Bang Nachrowi ini sebenarnya nyablak. Waktu dia mimpin Bamus Betawi, sering kali dia nyablak unek-unek terhadap Foke sama teman-temannya. Malah dia juga sempat dongkol waktu terpaksa mendampingi Foke, lantaran manuvernya dengan Anas Urbaningrum gagal untuk mendapat tiket Cagub DKI dari Partai Demokrat. Usut punya usut, Foke pun kabarnya empet sama Nachrowi. Mungkin karena unek-unek Nachrowi juga terdengar oleh Foke. Pendek cerita seperti kata adagium politik, tiada teman atau lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan pribadi, hehehehe..
Kembali ke analisis tampang Foke, sebenarnya saya juga ragu untuk mengungkapkan isi hati (duh elah.. hahaha). Dengan memberi pendahuluan tentang bagaimana saya mengenal Bang Foke, saya jadi kuatir, apa mungkin Foke punya kelainan ….. ‘sensor’! Saya malah jadi teringat figur Hitler dengan sosoknya yang fasis, penuh rekayasa dan dikelilingi para penghibur (maksudnya pejabat yang bisa menyenangkan dia).
Bang Foke, pada pilgub 2007 mengklaim dia ahlinya Jakarta. Dalam setiap penampilan publik terutama di TV, dia benar-benar fasih menguraikan konsep solusi masalah kota, administrasi pemerintahan dengan diperkuat data-data statistik yang seolah meyakinkan. Tapi kalo kita – baik yang berKTP maupun yang sering berurusan dengan Ibukota ini – mau jujur, sebenarnya apa sih prestasi Foke yang mengesankan? Faktanya sekarang, Jakarta makin macet, jorok, kumuh, tidak aman, korup, dan kalaupun frekuensi banjir berkurang (kecuali di sekitar BKT), itu karena cuaca yang lebih dominan kemarau akibat pemanasan global. Jika dinilai ada perlambatan, Bang Foke selalu berdalih perlu ada master plan, feasibility study dan lain-lain alasan. Banjir Kanal Timur dia klaim sebagai keberhasilan. Padahal tanpa tekanan Wapres Jusuf Kalla dan sokongan pemerintah pusat, mungkin BKT masih feasibility juga saat ini.
Yang menjengkelkan saat ini, kas Pemprov DKI benar-benar dia kuras untuk iklan success story Foke di media cetak dan elektronik. Sebagian isinya manipulatif. Ada yang lebih menguatirkan. Foke dengan sadar ataupun tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, seperti sedang membenturkan warga betawi dengan etnis lain melalui kalimat-kalimat dia yang provokatif, juga melalui penggalangan ormas-ormas bermasalah.
Nah, sudah cukup banyak saya mengurai prestasi Bang Foke. Dengan akal sehat kita dapat menilai apakah rela DKI dipimpin Bang Foke lagi? hahahahaha
Faisal Basri
Menurut saya, inilah sosok terlantang yang berani mengkritik Foke dan Pemprov DKI dengan bahasa lugas dan terkadang panas. Walau saya setuju dengan kritik Bang Faisal, tapi jika membayangkan jadi Foke, saya perlu lebih banyak kapas untuk menutup telinga, hahahaha…
Kritik panas Bang Faisal bukan barang baru. Dari Presiden, Menteri, Kepala Lembaga Negara dan Partai pernah jadi sasaran dia. Saat kritik terucap olehnya, kadang saya membayangkan muncul asap dari kepalanya.
Dalam sejumlah debat kandidat, konsep Bang Faisal menurut saya adalah yang paling masuk akal. Pengenalan masalah dan rumusan solusinya sangat realistis. Contohnya dalam pengembangan jaringan transportasi interkoneksi, revitalisasi pasar tradisional, pemberantasan korupsi serta keberpihakannya kepada kaum miskin. Meski banyak pihak meragukan kapasitas leadershipnya karena banyak berkecimpung di dunia akademik, tapi menurut saya, Bang Faisal lebih berprospek dibandingkan petahana korup.
Satu catatan penting yang terkait dengan majunya Faisal dari jalur independen. Pada tahun 2001, dia tinggalkan jabatan Sekjen dan keluar dari keanggotaan Partai Amanat Nasional, padahal Bang Faisal termasuk pendiri dan deklator partai itu. Bila terpilih, apakah Bang Faisal kuat dan bagaimana menghadapi tekanan politik termasuk kepentingan partai dalam DPRD yang seringkali merongrong kepentingan eksekutif? (seperti kita lihat contohnya dalam kasus penganggaran gedung KPK oleh Komisi III DPR RI)
Joko Widodo