Belakangan polisi semakin bersolek agar nampak lebih akrab dengan masyarakat. Mulai dari aksi panggung Norman Kamaru, siaran para perwira NTMC nan rupawan, publikasi polisi ganteng hingga pertunjukan grup vocal diva terlatih. Petinggi Polri khususnya para awak Humas sadar betul dan nampak aktif untuk membangun citra polisi yang ‘human’, selaras dengan jargon mereka “melayani dan melindungi”.
Para ahli dan praktisi public relations (PR) dengan mudah mampu membaca langkah polisi itu sebagai kampanye PR yang terprogram. Lihatlah spoke person mereka yang terpilih (terutama di NTMC) berwajah rupawan dengan penampilan yang tertata apik. Lihat juga duta seni yang ditampilkan senada dengan tren group band, boy band atau girl band. Tiada yang salah dengan kegiatan mereka sebagaimana publik menyalurkan hobi dan bakat seni mereka. Akan tetapi nampak jelas ada program pengarahan media dengan mempublikasikan kegiatan-kegiatan itu untuk membangun citra positif. Tujuannya tentu saja, agar polisi semakin dicintai masyarakat.
Persoalannya, apakah program kampanye PR tersebut cukup efektif untuk mencapai tujuan ‘dicintai’? Sementara pada sisi lain polisi dihadapkan pada pemberitaan dan kesan minor mengenai penyimpangan sebagian anggotanya. Kasus terakhir adalah korban salah tangkap dan rekayasa kriminalisasi. Kasus lain: rekening gendut, narkoba, komersialisasi perkara, suap tilang, diskriminasi ormas, backing pengusaha, pelayan penguasa dan banyak kasus lain. Tudingan kasus-kasus tersebut sejatinya telah merusak esensi fungsi, peran, profesionalitas bahkan moralitas dari kepolisian itu sendiri.
Memang ada penindakan disiplin dan pidana terhadap aparat polisi yang menyimpang. Namun kesan yang lebih terasa kok justru polisi seolah melindungi penyimpangan yang dilakukan oleh anggota korps mereka. Indikasinya, polisi sering bereaksi menuding ‘oknum’ yang seolah mengisyaratkan penyimpangan itu tidak tersistem atau membudaya dalam kinerja polisi. Indikasi lain, polisi juga sering menuding masyarakat yang tidak melaporkan penyimpangan aparatnya. Indikasi tambahan, jarang betul kita lihat polisi meminta maaf secara terbuka atas penyimpangan anggota mereka seperti dalam kasus salah tangkap.
Pastinya tiada satupun muatan kurikulum dan prosedur kepolisian yang mentolelir penyimpangan. Namun tatkala penyimpangan itu berlangsung massif dan mudah ditemui (contoh suap tilang, proses SIM) bukankah terkesan telah membudaya dan tidak ditanggulangi secara sistemik. Polisi perlu menyadari bahwa tidak mudah untuk melibatkan masyarakat (terutama kelas menengah-atas) meski sebatas melaporkan penyimpangan aparat polisi, apalagi mereka yang terlibat korupsi dengan polisi (contohnya dalam kasus suap tilang hingga komersialisasi perkara). Bahkan, sebagian korban kriminalpun merasa enggan mengadukan musibah mereka kepada polisi. Masih ada persepsi klasik: “jangan-jangan lapor kambing hilang bisa sapi yang melayang”.
Kembali ke laptop. Kampanye PR walau dibungkus dengan budaya pop sekalipun rasanya tidak cukup efektif untuk mengatasi masalah citra negatif yang berbasis pada kegagalan sistemik. Jangan sampai muncul disorientasi opini yang mengesankan polisi seolah mengalihkan isu, bertindak lip service dan membangun kehormatan korps dengan program yang kosmetis. Saya yakin dibalik program PR ini ada sekumpulan ahli dan praktisi PR sipil yang terlibat baik dalam perencanaan, implementasi dan kontrol. Tanyalah kepada mereka bagaimana desain program PR strategik yang efektif untuk membangun citra polisi sebagai pelindung dan pengayom sejati. Saya juga yakin, mereka akan membutuhkan back-up reformasi yang lebih fundamental dari sistem kepolisian itu sendiri dan penegakan hukum secara konsekwen khususnya dalam menyikapi penyimpangan, aduan dan godaan KKN dari masyarakat. Bahkan merekapun pasti meyakini bahwa PR dan promosi paling efektif adalah kesan yang diucapkan dari mulut ke mulut, sementara kampanye media hanya pelengkap saja.
Toh, keberhasilan reformasi fundamental polisi dapat dievaluasi secara sederhana, ketahui persepsi publik dari penelitian lembaga independen yang berintegritas. Tidak kalah penting untuk memantau peringkat lembaga korup yang disurvei sejumlah institusi terpercaya. Reformasi itulah yang menentukan apakah polisi semakin dicintai atau dibenci?
Sungguh, belum terlambat bagi polisi untuk berbenah. Segeralah berubah!
Selamat hari Bhayangkara!!!