Kondisi kemanusiaan yang seperti ini, menjadikan manusia mencari kompensasi hidup, untuk mengisi ruang-ruang kosong spiritual, dengan kompensasi-kompensasi yang berbentuk kenikmatan sesaat. Kompensasi yang mereka lakukan berada pada dua titik ekstrim, yaitu kekerasan dan selebrasi.
Dengan demikian sangat wajar ketika kekerasan menjadi solusi dalam memecahkan persolan kehidupan. Kekerasan dilakukan bukan hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh penyelenggara negara. Dan, beratnya beban yang harus ditanggung oleh manusia yang bionik ditengah keringnya kehidupan spiritual membuat manusia menerjunkan dirinya dalam kehidupan yang menawarkan kenikmatan virtual, sehingga berkembanglah dengan suburnya instrumen-instrumen selebrasi.
Pada hakekatnya, gambaran manusia yang seperti itu dapat disebut sebagai manusia yang TIDAK MERDEKA. Kemerdekaan manusia yang disyaratkan oleh kemampuan mengekspresikan potensi spiritual terhadap Tuhan secara bebas, beralih menjadi pemenuhan keinginan-keinginan. Keinginan yang selalu dikejar oleh manusia harus disadari bahwa semua itu muncul dari potensi nafsu hewaniah yang terdapat di diri manusia. Kondisi manusia yang seperti ini, selanjutnya menjadikan dominasi manusia yang HOMO HOMINI LUPUS.
Potensi Spiritual Kemanusiaan terhdap Tuhan berubah menjadi potensi Spiritual kemanusiaan terhadap kenikmatan.
Dengan demikian gerakan kemanusiaan selayaknya diarahkan kepada pembangunan manusia yang "spiritualis". Hal ini bukan berarti menafikan potensi "material" manusia, tetapi hal ini berkaitan dengan skala prioritas. Prioritas utama dari pembangunan kemanusiaan adalah Spiritual of God.
intersisinews.com