Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Terima Kasih

20 Mei 2013   00:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:19 119 0
Tersipu diantara salah dan malu

Berikan aku secuil kertas untuk menulis hutang

Tak tahu Ibu lupa waktu, mungkin tentu iya

Hutangku pada Ibu tak ingin membayar lewat tantang

Tentulah muazin membakar teriakannya

Ibu bergegas tak berlari untuk memcari riak

Sementara waktu terus  bernapas

Sujudlah Ibu disepenggal waktu

Dikemudian detik aku yang sedang merindukanmu

Sudikah kau memelukku, memeluk mimpiku

Lalu kuingat tetesan airmata melewati garis tepi hidungnya

Ibu memelukku tak tahu rasa seperti di surga

Dikemudian tahun-menahun Ibu pergi tanpa jasadi

Hatiku telanjang tak tahu tentang kematian

Kuterima secarik kertas berwarna kuning lalu kusimpan rapi

Tertulis surat kematian dengan kilatan pena legam

Disini aku menatap diriku dalam balutan pilu

Naluriku berbaring lemah di hari ke empat puluh

Kau yang telah menyandang Almarhumah

Kukenang sebaik-baiknya kenangan terindah

Tetesan keringat bukti tanda pengabdianku

Adakah daun-daun yang menguning tak pernah berjatuhan

Jawabannya pasti jatuh dengan perlahan-lahan

Kenangan Ibunda di telaga hatiku

Lantang namun tak kering kerontang

kerinduanku dekat dengan tetesan airmata ini

Titik demi titik airmatapun menitik

Terlihat jelas dipermukaan kertas

Pena mengajaku untuk menulis puisi

Begitu jua kertas pucat sahabatku

Betapa kata-katamu di alam mimpi

Menggugah jiwa yang lemah tak berdaya

Terima kasih sudah bersedia sudah mampir dimimpi malamku

pada malam empat puluh hari kepergianmu.

Kusempatkan menulis puisi ini

anakmu yang kau cinta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun