Berikan aku secuil kertas untuk menulis hutang
Tak tahu Ibu lupa waktu, mungkin tentu iya
Hutangku pada Ibu tak ingin membayar lewat tantang
Tentulah muazin membakar teriakannya
Ibu bergegas tak berlari untuk memcari riak
Sementara waktu terus  bernapas
Sujudlah Ibu disepenggal waktu
Dikemudian detik aku yang sedang merindukanmu
Sudikah kau memelukku, memeluk mimpiku
Lalu kuingat tetesan airmata melewati garis tepi hidungnya
Ibu memelukku tak tahu rasa seperti di surga
Dikemudian tahun-menahun Ibu pergi tanpa jasadi
Hatiku telanjang tak tahu tentang kematian
Kuterima secarik kertas berwarna kuning lalu kusimpan rapi
Tertulis surat kematian dengan kilatan pena legam
Disini aku menatap diriku dalam balutan pilu
Naluriku berbaring lemah di hari ke empat puluh
Kau yang telah menyandang Almarhumah
Kukenang sebaik-baiknya kenangan terindah
Tetesan keringat bukti tanda pengabdianku
Adakah daun-daun yang menguning tak pernah berjatuhan
Jawabannya pasti jatuh dengan perlahan-lahan
Kenangan Ibunda di telaga hatiku
Lantang namun tak kering kerontang
kerinduanku dekat dengan tetesan airmata ini
Titik demi titik airmatapun menitik
Terlihat jelas dipermukaan kertas
Pena mengajaku untuk menulis puisi
Begitu jua kertas pucat sahabatku
Betapa kata-katamu di alam mimpi
Menggugah jiwa yang lemah tak berdaya
Terima kasih sudah bersedia sudah mampir dimimpi malamku
pada malam empat puluh hari kepergianmu.
Kusempatkan menulis puisi ini
anakmu yang kau cinta.