Seorang manager pabrik kain terkenal dari Majokerto yang dimiliki oleh pengusaha Jepang mengatakan kepada saya bahwa sebenarnya perusahaanya sudah tidak kuat lagi menahan gelombang krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Namum pemilik perusahaan yang berasal dari Jepang itu tetap mempertahankan usahanya meskipun harus menghabiskan "darah" pada tetes terakhir. Bahkan sang pemilik sekarang sudah tergolong sangat miskin, karena kekayaan pribadinya juga disumbangkan untuk kelangsungan hidup usahanya itu. Ketika saya tanya kenapa tidak dijual atau dipailitkan saja? Sang manager malah tersenyum, "Dulu kami juga berpikiran seperti itu, namun Bos Besar tetap pada pendiriannya tidak mau menutup. Akhirnya saya beranikan diri tanya kenapa dia "ngotot" mempertahankan pabriknya yang hampir tidak punya harapan hidup itu?" Dengan menarik nafas panjang bos saya menjawab: "Bagi kami (orang Jepang) pabrik (tempat usaha mereka) seperti pedang samurai yang tidak boleh jatuh atau terlepas dari tangan. Karena ia adalah "harga diri" yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Bagi kami lebih baik mati bertempur dari pada menyerah. Bahkan mereka yang tak kuat menanggung malu karena gagal mempertahankan harga diri lebih mati bunuh diri. Saya akan sangat malu jika saya gagal berbisnis di Indonesia, saya tidak boleh terlihat "menyerah" di hadapan keluarga, teman dan kolega. Karena itu saya akan berusaha sampai energi terakhir untuk mempertahankan pabrik ini." Akhirnya orang Jepang ini berhasil dan pabriknya kembali "hidup" bahkan sudah menjadi salah satau pabrik kain terbesar di Jawa Timur.
Nampaknya nilai budaya "malu" jika tidak berhasil memperjuangkan cita-citanya adalah kunci sukses kebangkitan Jepang. Bagimana mana dengan bangsa kita adakah nilai-nilai budaya yang bisa melahirkan semangat berjuang semperti mereka?