Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Tribute To S.T.A "Yasin & Molek" part 2

11 Juni 2011   16:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 81 0


Di alinea inilah aku bersandar. Di ruang hampa yang tiada pernah aku pahami. Saat ku menelaah kalimat molek yang terarti kebahagiaan di mata yasin, saat itu pula aku terpengarah suatu ketakjuban dunia ini. Aku tak bisa menuliskan takdir dalam buku nadiku, katapun tiada arti dalam riwayat taklimat mereka berdua. Bagiku, ‘’adinda’’ tak menyentuh sedikitpun kerasnya hatiku, ‘’kakanda’’ pun selalu lunglai dalam karibaan doaku.

Derai ini, melumpuhkan isi hati. Melukai cintaku hingga nada terakhir dalam nafasku. Nasibku mungkin belum se-rendah dan se-malang yasin yang harus nan kena tuk meng-ikhlaskan molek di tasbihkan menjadi kupu-kupu sangkar makhluk lain. Belum se-malang itu. Sungguh belum. Tapi luka yang harus ku-jalani, tak lain dan tak bukan milik yasin seorang dan karibaanku. Ampunini aku adindaku, kakandamu ini sungguh makhluk yang tak cekap lagi tak cakap. Ampuni aku adindaku.

Memang tiada busur yang ku pakai. Tapi, masih saja anak panah yang menghancurkan lampu terangku tuk menuju padamu. Terasa sendiri aku disini, gelap gulita dan tanpa arah yang harus ku tuju dalam sisa hidupku yang sepenuhnya hitam pekat. Kali ini aku sungguh malu pada tuhanku, ia masih saja tabah dan sabar menghadapi lara dan hitam takdirku. Aku masih malu, sungguh aku malu.

Ada apa dengan hati yang ku tempa selama ini?. Apa ia mulai lelah tuk meneruskan lukisan indah hidupku dengan tinta merah darahku, atau ia mulai menyerah menyelami sisa hidupku yang selalu ter-acuh-kan alamat dam taklimat dunia?

Argh. Letih jua aku berdiri sendiri di tepi kekagumanku akan sosok yang tiada pernah menuai jutaan rinduku yang ku kirimkan padanya. Ingin rasanya ku bunuh ia dengan segenap rinduku ini. Agar ia tahu bahwa aku tiada berdaya tanpa kisah yang enggan ia rajut dalam hidupku. Aku tak ingin berakhir seperti yasin, yang masih menyetubuhui kebun para buai-an sang inang pendahulu dalam tiap- tiap sejarah waktunya. Sementara, sang pejaka lain-nya bisa meniduri terang-nya bulan dalam kehangatan selimut malam. Aku sungguh tak ingin seperti yasin. Sungguh tak ingin.

Inangku, telah lama kau semai aku. Tiada lelah kau menamparku dengan mata sayu-mu, dan telah lama kau meniduri aib lelaki yang kau tak ingin aku sebut ia ayah. Aku terlahir dalam penderitaan-mu, besar dalam pangkuan ribuan duka senyummu dan tumbuh sebagai lelaki yang tiada bisa kau banggakan di dunia ini. Maafkan aku bunda, aku masih lunglai dalam mencari haq-ku. Masih meretas jalan berliku yang kau janjikan padaku saat kita berdua masih dalam kasih satu, aku masih menelaah itu bundaku. Masih menelaah itu semua.

Malam, kini semakin cepat dan semakin gelap.

Terang tak lagi memuaskan birahi kita akan dunia.

Apakah arti kata itu jika kau tak lagi menderma ruang waktu yang tak lagi kau semai dalam inang kenangan yang ku miliki. Aku tak akan terbujur kaku jika kau masih saja terdiam mengharui nasab nasibmu. Tengoklah yasin buah hatiku, tangkaplah buah bibir yang mengudara di negeri antah berantah itu, temukan jasad molek yang masih tergolek tak berdaya karena merana meratapi nasib malangnya.

Kau tentu tak akan menangisi hasratmu lagi jika kau telah temukan malaikat molek yang mentasbihkan sujud dan takbirnya untuk kasih suci yang terpercayakan oleh nikmat tuhan. Oh inangku, masihkah aku berdaya menghadapi ramuan derai kelambu nasib malangmu yang kau titipkan di nadi tkdirku?. Aku mencintainya sekehendak yasin mencintai kekasihnya, aku mencintainya inangku. Tak peduli seberapa kasat polahnya dan tak peduli seberapa makzul-nya angkara murka yang tersembunyi di baik ramah sentuhnya. Aku tetap mencintainya inangku, tetap mencintainya.

Tuhan, ada apa dengan jiwaku ini?. Ia masih saja melamunkan taklimat molek yang ia tuliskan dalam derai tawa ‘’satu kita di dunia, satu kita di akherat’’. Aku memang bukan ahli nujum tuhanku, yang bisa melerai ihwal masa yang akan ku lampaui dengan belahan kakiku yang hina ini.

Aku rasa cukup sudah aku berlari dalam kesendirianku. Melamunkan isi hati yang bimbang karena hujan yang tak kunjung terang di hatiku. Ingin ku pertanyakan taklimat ‘’habis terang datanglah gelap’’ padamu tuhanku. Tapi, getir lamunku selalu saja memaksa tuk menghindar dan menepi dari segala coba yang ku lalui. Hujan itu tuhanku, mengisahkan aku akan kisah yang tiada pernah bisa ku rengkuh. Kisah pilu akan inangku yang selau berkabut sendu dala tiap-tiap jejak langkahnya.

Aku merinduimu molek-ku. Meski ku tak mengenal engkau, meski ku tak hidup di waktumu dan meski kau tak mengenal aku. Aku mencintaimu dan menyayangimu segenap ragaku. Aku mengasihi teladanmu yang kau tunjukan padaku dan aku benar-benar merindui sosok wanita sepertimu. Aku tak berharap kau hidup sekarang, sebab itu tak akan mungkin. Aku pun tak berharap kau merestui kekagumanku akanmu. Satu hal yang perlu engkau tahu molek-ku, dengn kau ijinkan-nya mata ini tuk meminangmu, maka hilanglah segala hasrat dan nafsu tuk memilikimu sepenuhnya. Dengan kau ijinkannya telinga ini tuk mendengarkan dendanganmu, maka hilanglah kepemilikan fana akanmu dari hatiku. Dan dengan kau kisahkan ihwal cintamu pada dunia, sekonyong-konyong hilanglah rasa dengkiku akan dunia. Hiduplah sebagai cahaya bulan di sisiku, serendah aku memuja tuhanku dan serendah aku memuji para pendahuluku. Karena rona murnimu, terlalu suci tuk ku hitamkan dengan goresan kelam dosa dan aibku, tiada pantas kau menerima itu dan tiada pantas aku meng-indah-kan sesuatu yang pada mulanya adalah ke-indahan itu sendiri. Ya, kau sungguh indah molek-ku.

Molek, kali terakhir aku mengenangmu adalah waktu dimana aku tertawa oleh semai hidupku. Berbahagia dalam lantunan duka yang kau genggam dan enggan kau lepaskan. Tiada niat aku mengecohmu se-nian ini, tak ada hasrat bagi hatiku tuk melukai hatimu yang terlampau luka dengan ke-giranganku dan tiada hendak aku melupakan betapa getir dan pilunya perjalanan kasihmu itu.

Kau tentu tak ingin melumat najis yang ku teteskan dalam lingkaran kebun para yang terjaga sosok kekasih dunia dan akhiratmu, yasin. Walau ku lumuri najis itu dengan berbagai hiasan indah yang ternama dan ter-alamat semua hendak se-bahagian ras yang kau amini dalam tiap bulir-bulir darahmu itu. Kau akan selalu saja terdiam dan merenung,walau sempat ku tawarkan najisku ini padamu. Kau akan selalu terdiam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun