Akan tetapi bagi negara-negara pesaing Jepang, hal ini tentunya sangat merugikan. Tercatat Korea Selatan telah melancarkan protes atas kebijakan moneter longgar Jepang yang ditudingnya merupakan salah satu bentuk perang mata uang global. Meskipun demikian para petinggi Jepang membantah hal tersebut dan menyatakan bahwa satu-satunya tujuan kebijakan moneter longgar adalah untuk mendorong inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tetap saja Korea Selatan membawa protesnya ke forum G8, meskipun tidak terlalu ditanggapi.
China juga ikut menjadi 'korban'. Hari ini data neraca perdagangan dari China menunjukkan terjadinya defisit. Pertumbuhan ekspor yang tidak sebaik harapan dan impor yang melonjak tajam merupakan penyebab dari terjadinya defisit tersebut. Beberapa pihak menuding – lagi-lagi – bahwa kondisi ini merupakan imbas dari pelemahan yen Jepang.
Kritik Soros Terhadap Kebijakan BoJ
Bagaikan pepatah “Anjing menggonggong kafilah berlalu,” Bank of Japan bertahan di tengah berbagai protes dari para tetangga sekaligus saingan ekspornya. Minggu lalu BoJ bahkan meluncurkan kebijakan untuk meningkatkan pembelian obligasi pemerintah menjadi sebesar 7.5 triliun yen (77 miliar dolar) per bulan. Akan tetapi ternyata protes bukan hanya datang dari negara yang merasa dirugikan, beberapa ekonom kawakan juga merasa prihatin dengan langkah Jepang tersebut, salah satunya George Soros.
Pria yang aksinya pernah meluluhlantakkan ekonomi Asia Tenggara di tahun 1997 ini menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh BoJ merupakan hal yang berbahaya karena mereka melakukan bombardir moneter setelah selama 25 tahun mengumpulkan defisit dan tidak mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sehingga menurutnya BoJ pada suatu titik tidak akan lagi memiliki kontrol atas arah pergerakan dan dampak yang diakibatkan oleh kebijakannya tersebut. Contohnya, jika yen makin anjlok dan rakyat Jepang menyadari bahwa pergerakan tersebut akan terus berlanjut, dan justru menjadi panik karena mata uang mereka menjadi 'kurang berharga', penurunan yen ini akan menjadi semacam 'longsor'. Hal ini tentunya akan berubah menjadi bahaya besar bagi ekonomi Jepang.
Kekhawatirannya mengenai ketidakmampuan BoJ untuk mengendalikan laju kejatuhan yen – juga menghentikannya jika waktunya sudah tepat – didasari oleh besaran ekonomi Jepang yang hanya sepertiga dari AS. Akan tetapi BoJ melakukan stimulus bulanan dengan besaran yang sama dengan yang dilakukan oleh The Fed.
Petinggi Jepang Juga Ketar-ketir
Bukan hanya Soros yang mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kondisi ekonomi Jepang. Takehiko Nakao, wakil menteri keuangan yang membawahi bidang mata uang atau biasa disapa Mr.Yen, juga menyatakan khawatir.
Menurutnya saat ini utang pemerintah Jepang – yang omong-omong adalah paling besar presentase terhadap GDP-nya di dunia, dan bahkan lebih besar dari Yunani – sudah terlalu besar. Rasio utang terhadap GDP Jepang berada di level 245 persen dan bukan akibat dari investasi.
Nakao menyatakan bahwa stimulus fiskal tidak lagi bisa menjadi pilihan dalam usaha menggenjot ekonomi. Jepang juga harus mulai memperbaiki keuangan publik agat bisa berada dalam kesinambungan di pertengah dekade saat ini.
Jepang adalah satu-satunya negara besar yang belum melakukan pengetatan fiskal. Bahkan pemerintah Abe justru merilis stimulus fiskal senilai 200 miliar dolar yang bertujuan mendorong pemulihan ekonomi. Stimulus ini setara dengan 2 persen dari GDP.
Nakao juga membantah bahwa tujuan stimulus moneter yang dilakukan BoJ adalah untuk melakukan perang mata uang. Meskipun demikian ia mengakui bahwa ada batasan sampai mana hal tersebut bisa dilakukan.