Lorong menuju lift sepi. Karpet tebal yang menghampari lantainya meredam suara detak sepatu saya. Seorang diri saya menguasai lift yang membawa saya turun ke lobi.
"Check out, Mas." Saya meletakkan kunci kamar di depan petugas front desk. Sambil mengucapkan terima kasih sudah membangunkan saya tepat pukul 04.00 tadi, sesuai pesanan saya semalam. Petugas itu tersenyum ramah dan mengucapkan selamat jalan.
Begitu keluar dari pintu lobi, seorang petugas menyambut saya. "Taksi, Bu?"
"Ya, Mas."
Dia langsung menuju sudut, memanggil sebuah taksi lewat sebuah alat komunikasi. Suasana sepi, sejuk, cukup dingin.
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan kami. Petugas membukakan pintunya, dan keluarlah dua orang perempuan muda. Cantik dan seksi. Busana hitam membalut tubuh mereka yang dibiarkannya terbuka di sana-sini. Belahan dada nampak dengan leluasa, begitu juga dengan bagian samping kanan kiri dadanya.
Saya bergidik. Bukan karena apa-apa. Hanya membayangkan, betapa dinginnya udara pagi ini, dan dengan busana 'you can see' seperti itu, tidakkah mereka merasa kedinginan?
Ini bukan pertama kali pemandangan seperti itu saya lihat. Sudah berkali-kali, hampir setiap kali saya pulang kerja seperti sekarang ini. Pernah suatu ketika saya dibuat terkagum-kagum melihat penampilan seorang perempuan muda yang tidak hanya mengenakan busana minim, namun juga tipis transparan. Dandanannya seronok. Mengundang siapa pun untuk memandanginya dengan decak kekaguman atau decak yang lain. Kecuali bagi para lelaki yang ingin selalu berusaha menjaga pandangannya. Tapi, sungguh, saya tidak yakin, lelaki manakah--sealim apa pun dia--yang ingin melewatkan suguhan kemolekan tubuh yang begitu indah? Bukankah mengagumi keindahan ciptaan Tuhan juga dianjurkan oleh agama? Begitulah kata seorang teman 'alim' saya suatu ketika.
"Mereka juga baru pulang kerja, seperti kita." Kata saya pada teman saya saat itu. Dengan penuh keprihatinan. Ya, prihatin. Dengan penampilan seperti itu, dan berkeliaran masuk hotel menjelang pagi, entah apa yang mereka lakukan semalaman. Juga malam-malam yang telah mereka lewati sebelumnya. Yang jelas, mereka tidak sedang pulang dari kantor bank atau dari kantor dinas. Apa lagi dari pengajian atau istighotsah.
Entahlah. Meski nampaknya para perempuan itu baik-baik saja dan wajahnya memancarkan kebahagiaan, siapa tahu dalam hati dan pikiran mereka. Bisa jadi mereka seperti para perempuan yang digambarkan oleh Titik Puspa dalam lagunya yang mengisahkan kehidupan kupu-kupu malam. "Kadang dia tersenyum dalam tangis, kadang dia menangis di dalam senyuman..." Atau memang mereka merasa 'nothing wrong' dalam kehidupan mereka dan bahkan bangga bisa menjadi penghibur dan membahagiakan para lelaki tak kuat iman.
Apa pun, saya tetap merasa sangat prihatin. Mereka kaum saya. Para perempuan yang seharusnya menjaga diri dan martabatnya. Menjaga kehormatannya. Menjadi ibu bagi anak-anaknya dan menjadi istri sholehah bagi suaminya. Entah di mana anak dan suami mereka saat ini, sementara mereka mengais rezeki dari belas kasihan para lelaki hidung belang sepanjang malam.
Lagu Titik Puspa kembali mengalun di benak saya. "Dosakah yang dia kerjakan. Sucikah mereka yang datang...."
Taksi pesanan saya tiba. Dua orang petugas bergerak. Satu mengangkat koper kecil saya, satunya lagi membukakan pintu taksi. Saya menyelipkan selembar uang ke tangan mereka masing-masing dan mengucapkan terima kasih.
Ini hari Jumat. Saya ingin mengawali hari baik ini dengan melakukan hal-hal baik. Konon, kalau Anda memulai hari Anda dengan hal-hal yang baik, maka sepanjang hari itu, kebaikan-kebaikan akan terus mengalir menghampiri Anda. Apa lagi di hari Jumat. Namun jangan demi itu semua kita berbuat baik, kecuali--semata-mata--hanya demi mendapatkan ridho dan kasih sayang-Nya.
Happy Friday....
Garuda Lounge, Soetta, 8 Mei 2015
Wassalam,
LN