Romlah merupakan salah satu peserta SM-3T yang bertugas di Romkisar (Nanda, rekan Romlah yang bertugas di Sermata, Mdona Hyera, menyebutnya Rumkisar). Sebuah wilayah yang disebut-sebut Nanda sebagai tempat yang lain daripada yang lain. Berada di ujung pulau, dalam kondisi apa pun lautnya selalu bergelombang, akses ke sana harus menembus hutan yang 'samun', dan unsur magic yang masih terasa sangat kuat melingkupi desa beserta masyarakatnya.
"Sebelumnya saya mohon maaf bu atas kedatangan surat ini. Ini saya Romlah bu. Saya ketik surat ini di Mahaleta (kebetulan listrik dari jenset lebih memadai daripada di Romkisar). Keberadaan saya di Mahaleta bukan kebetulan bu. Kami bertiga (saya, Mbak Yuni dan Mbak Vina) sengaja dilarikan ke Mahaleta untuk kebutuhan pengobatan. Saya dan Yuni membutuhkan medis untuk membantu kami yang ternyata positif terkena malaria valcivarum karena di Romkisar (desa tempat kami ditugaskan) tidak ada tenaga medis sama sekali. Alhamdulilah keadaan kami sedikit lebih baik setelah mendapat penanganan para mantri, semoga kesembuhan dan kesehatan selalu menyertai kami, amien."
Itulah alinea pembuka surat Romlah. Sosok manis berjilbab yang ramah itu terbayang di mata saya. Beberapa waktu yang lalu, di awal-awal penugasannya, dia pernah menelepon saya dari Ambon. Waktu itu, dia dan beberapa temannya sengaja menumpang kapal ke Ambon untuk mengambil beasiswa di rekeningnya, serta berbelanja berbagai keperluan untuk bekal selama di Romkisar. Saat itu kami juga sedang melakukan pengiriman pelampung, sehingga keberadaan Romlah dkk di Ambon sangat membantu kami. Pelampung kami kirimkan ke Ambon, dan Romlah dkk membawanya menyeberang Laut Banda menuju tempatnya bertugas, untuk dibagikan kepada semua rekannya di MBD.
Dalam suratnya, Romlah tak hendak bercerita tentang sakit yang dideritanya. Dia ingin bercerita tentang kondisi pendidikan di Romkisar. Dia dan kedua temannya ditugaskan di SDN Romkisar. Di sekolah itu, hanya ada dua guru PNS, yaitu kepala sekolah dan guru agama. Kepala sekolah sering ada urusan dinas atau keperluan kuliah, sedangkan guru agama juga sering izin tidak masuk. Bahkan baru-baru ini, guru agama izin melahirkan sejak bulan Februari, dan sampai sekolah sudah masuk libur semester dua, dia belum kembali.
"Kami sangat menyayangi murid-murid kami yang menurut kami kemampuannya tidak kalah dibanding anak-anak di kota. Mereka cukup cepat menangkap apa yang kami sampaikan, apalagi ketika kami beri mereka pelajaran dengan bermain dan bernyanyi. Mereka semangat sekali bu. Mereka tidak kekurangan fasilitas, saya rasa perlengkapan sekolah yang orang tua mereka berikan berkategori cukup jika dibanding kondisi anak-anak Sumba yang pernah ibu ceritakan waktu prakondisi. Hanya saja ibu, mereka masih kurang kesadaran untuk belajar. Mereka harus dipaksa untuk sekedar datang les (sungguh keadaannya tidak sejalan dengan cerita yang saya baca di buku "Ibu guru, saya ingin membaca", Sumba Timur). Tpi bu, justru itu kami sangat 'mengemani' itu.
Romlah mengaku, dia dkk sangat khawatir dengan 'ancaman' kepala sekolah kepada murid-murid, bahwa beliau akan keluar dari SDN Romkisar bila guru-guru SM-3T habis masa kontraknya. Ibu guru agama pun kabarnya juga akan pindah tempat mengajar. "Terus nanti siapa yang akan mengajar murid-murid kami?" Begitu tanya Romlah.
Saya jadi ingat persoalan yang sama yang terjadi di Pulau Salura, Sumba Timur. Di SMP Satap, waktu kami melakukan monev Juni yang lalu, tidak ada satu pun guru yang bertugas di sana. Maka para peserta SM-3T itulah yang 'ngurusi' sekolah itu. Sama halnya dengan Romlah, Heri dkk di Salura juga mengkhawatirkan sekolah itu akan tutup karena tidak ada gurunya, selepas kepergian mereka karena masa tugasnya telah berakhir.
Romlah dkk memohon agar Romkisar tetap digunakan sebagai tempat tugas peserta SM-3T angkatan ketiga nanti, agar anak-anak ada yang mengajar. Seperti itu jugalah yang diminta Heri dkk di Salura.
Kondisi Romkisar persis seperti apa yang diceritakan Nanda dalam SMS-SMS-nya. Romlah menggambarkan, desa kecil yang dihuni oleh sekitar 64 KK dan hanya memiliki satu-satunya sekolah, yaitu SD itu, memiliki laut yang ombaknya....'masa ampun, bu, besar dan kencang sekali...', begitu katanya.
"Kami tidak punya akses untuk berlayar ke desa sebelah, apalagi speed milik desa sedang rusak. Jalan darat yang menghubungkan desa Romkisar dengan Elo (tempat tugas Rio dkk) dan Romkisar dengan Lelang (tempat tugas Eko dkk) juga tidak dekat dan tidak mudah. Jarak ke Elo sekitar 7 km, dan jarak ke Lelang sekitar 13 km. Perjalanan pun cukup melelahkan dan membahayakan karena harus menerobos padang ilalang dan menyeberang sungai, dan saya sudah merasakannya."
"Malaria juga menguji kami bertiga. Saya sudah mengalami rasanya sembuh-kambuh karena malaria sejak Maret hingga kali ini, bulan Juli 2013. Menyusuri kebun berkilo-kilo untuk sekedar mewujudkan hasrat membuat perkedel jantung pisang pun sudah kami lakukan...."
Romlah sekali lagi memohon supaya kami mengirimkan guru SM-3T ke Romkisar sebagai pengganti dia dkk. Bahkan kalau bisa lebih banyak lagi. Dia juga minta supaya kami juga mengirimkan guru-guru ke Pulau Marsela.
"Saya tak bisa lupa raut wajah kepsek SD Kristen Nurah saat hendak menjemput kami yang awalnya ditempatkan di Pulau Marsela (namun tidak jadi), menjelang tengah malam pada bulan Oktober yang lalu. Tapi rombongan beliau harus kembali dengan tangan kosong dan kecewa..."
Kalimat Romlah mengingatkan saya pada sosok itu, Kepala Sekolah SD Kristen Nurah, yang kami temui di Letwurung, Pulau Babar, beberapa waktu yang lalu. Saya beserta tim (mas Heru Siswanto dan mas Rukin Firda) sedang berkunjung ke UPTD saat itu. Oleh karena masa-masa itu adalah masa UN, maka banyak kepala sekolah dari berbagai penjuru pulau, datang ke UPTD untuk mengambil dan menyerahkan soal UN.
Sama seperti Romlah, saya tidak bisa melupakan wajah itu. Wajah yang memohon, dengan mata yang merah berkaca-kaca, meminta dengan sangat supaya kami mengirimkan guru ke Pulau Marsela. Saat itu, saat ada pengiriman guru SM-3T, beliau mendapat kabar kalau akan ada seorang guru yang ditugaskan di sana, yaitu Romlah. Maka dengan speed beliau dan rombongan menyeberang laut, datang ke UPTD, bermaksud menjemput Romlah. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Romlah tidak jadi ditugaskan di sana. Kendala transportasi dan komunikasi menyebabkan beliau tidak mengetahui kalau ada perubahan itu.
Ya, memang, atas masukan tim pendamping (Dr. Nanik dkk) saat melepas para peserta di Pelabuhan Galala, Ambon, dan juga berdasarkan hasil pembicaraan dengan pejabat Dinas PPO MBD, maka kami memutuskan supaya rentang tempat tugas peserta SM-3T tidak terlalu tersebar. Mengingat kondisi MBD yang begitu 'lain dari pada yang lain', kami jadi 'ngeri' sendiri untuk menugaskan anak-anak kami ke pulau-pulau kecil. Saya sendiri harus mempertimbangkan keamanan dan keselamatan mereka. Mungkin sebagai seorang ibu, saya harus mempertimbangkan juga, bagaimana sedihnya bila keluarga mereka nanti tidak bisa berkomunikasi dengan mereka, untuk sekadar memastikan keadaan mereka (Meskipun ternyata saat ini, seperti itulah yang terjadi....).
Kepala Sekolah SD di Pulau Marsela waktu itu menjelaskan pada kami, bahwa mereka sudah mengeluarkan 2,5 juta untuk menyewa speed, dalam rangka menjemput ibu guru Romlah. Begitu tahu bahwa Romlah tidak jadi ditugaskan di sana, tidak terbayangkan oleh saya, betapa kecewa dan sedihnya beliau. Kekecewaan dan kesedihan itu beliau tumpahkan saat bertemu kami di UPTD itu. Saat itu, saya berjanji, untuk angkatan 2013, kami akan mengupayakan ada guru yang bisa kami kirimkan ke Pulau Marsela.
"Ibu, mungkin begitu saja unek-unek yang ingin saya sampaikan. Mohon maaf jika terdapat hal yang kurang berkenan.... Semoga program SM-3T mampu mengirimkan sarjana-sarjana yang dapat membantu anak-anak negeri di daerah 3T menuju kenyataan terindah tunas bangsa, yakni cita-cita mulia yang mereka patri dalam hati..."
"Salam rindu dari saya dan teman-teman dari Bumi Kalwedo, untuk ibu kami tercinta..."
Saya, seperti biasa, selalu diliputi rasa haru, sedih dan bangga. Mata saya selalu menjadi kabur setiap kali membaca surat-surat dari anak-anak SM-3T. Ketegaran dan kerelaan mereka berjuang, benar-benar meruntuhkan hati saya. Mereka ada di sana, di titik-titik terpencil yang bahkan tak akan mudah dicari dengan google map di mana titik koordinatnya. Bertarung melawan segala macam rintangan dan rasa sakit yang benar-benar sakit. Merelakan diri untuk menjadi pelita-pelita dalam kegelapan yang tak jelas di mana titik terangnya. Dalam kondisi fisiknya yang digerogoti malaria dan berbagai sakit yang lainnya pun, bahkan yang mereka pikirkan adalah, bagaimana sekolah setelah mereka pergi, meninggalkan tempat tugas. Siapa yang akan mengurus murid-murid yang mereka sayangi itu?
Siang hari kemarin, saya juga berlama-lama bertelepon dengan Rico dan Leni. Keduanya yang bertugas di Mdona Hyera itu sedang ada di Pulau Kisar. Setelah tujuh bulan tidak pernah bertemu sinyal, mereka memuaskan diri untuk curhat. Bukan sakit, bukan keluhan karena keterbatasan dalam segala hal yang mereka sampaikan. Mereka hanya ingin memastikan, Mdona Hyera akan mendapat kiriman guru lagi, karena sekolah tempat mereka bertugas, hanya punya satu guru PNS, yaitu kepala sekolah. Bahkan kepala sekolah akan menelepon sendiri ke saya, agar kami mengirimkan lagi guru ke sana sebagai pengganti Rico dkk. Usai bertelepon, seperti biasa, saya mengambil tisu, menghapus air mata yang meleleh. Pak Sulaiman yang melihat itu, hanya tersenyum maklum, tanpa komentar sepatah pun. Tentu saja dia sangat tahu apa yang saya rasakan. Dalam segala ketegaran saya sebagai koordinator SM-3T, saya hanyalah seorang ibu yang selalu diliputi kekhawatiran tentang keselamatan dan keamanan anak-anak kami. Meski pikiran positif terus-menerus yang selalu kami kembangkan, namun, tak ayal, pada saat-saat tertentu, air mata menjadi saksi betapa saya sangat merindukan mereka semua selalu dalam keadaan terbaik yang bisa mereka dapatkan....
Surabaya, 23 Juli 2014
Wassalam,
LN [http://www.luthfiyah.com]