“Saat ini? Bagaimana kalau besok tidak cinta lagi?”
“Saya akan berdo’a agar Tuhan membuatku mencintaimu besok dan lusa, dan seterusnya. Setiap kali aku merasakan cinta kepadamu aku akan berdo’a agar perasaan ini selalu ada.”
“Bagaimana kalau Tuhan tidak mengabulkan do’amu, dan suatu hari ia mencerabut perasaan cintamu padaku?”
“Kita mungkin berpisah.”
“Segampang itukah perpisahan? Seremeh itukah cinta menurutmu?”
“Apa yang gampang dan remeh? Kita kan tidak tahu apa yang membuat kita berpisah. Bagaimana kalau perasaanmu yang lebih dahulu dicerabut? Kamu pikir aku tidak punya kemungkinan patah hati?”
“Ah, aku bingung.”
“Mengapa bingung? Make it simple. Kamu juga mencintaiku. Aku bisa merasakannya.”
“Hah?? Darimana keegeeranmu itu datang?? Aku tidak pernah bilang itu!”
“Kamu tidak bilang? Tadi kamu bilang sendiri bahwa kamu takut rasa cintaku dicerabut. Kamu sesungguhnya telah mengatakannya, tapi yang aku rasa bukan dari yang kamu kata.”
“Ah… dasar… jika memang aku mencintaimu, aku merasa itu tidak cukup untuk kita pacaran.”
“Lalu apa lagi?”
“Aku butuh jaminan.”
“Pernyataan kesetiaan?”
“Nah, itu dia!”
“Baiklah, aku mencintaimu, dan aku akan setia pada cintaku padamu!”
“Setia pada cintamu padaku?”
“Ya!”
“Maaf, aku menolakmu. Ternyata kamu lebih mencintai rasa cintamu padaku daripada aku!”
“Ah! Lalu bagaimana dengan rasa cintamu padaku?”
“Itu urusanku!”