Peristiwa penangkapan tragis dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG di hadapan pasiennya di RS Permata Hati Balikpapan, Kalimantan Timur, menjadi sayatan tersendiri bagi sesama rekan sejawat. Bagaimana tidak, perihal tuntutan atas kejadian yang tidak diinginkan dalam tindakan medik yang mengakibatkan penghilangan nyawa pasien ini diusung pertama kali pada bulan April 2010 dan sesungguhnya sudah menunjukkan titik terang dengan bukti yang jelas, bahwa melalui Putusan Pengadilan Negeri Manadonomor 9/PID.B/2011/PNMD dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dianggap tidak bersalah dalam tindakan medik yang ia lakukan pada tahun 2010. Namun, atas kasasi dari jaksa penuntut umum, kasus yang menyangkut dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG diangkat kembali. dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOGdinyatakan bersalah oleh hakim atas tuduhan kelalaian dalam praktik kedokteran dan divonis 10 bulan penjara.
Menurut pernyataan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG serta dua dokter spesialis kebidanan dan kandungan lain yang pada saat kejadian bertindak sebagai asisten dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG, dr Hendry Simanjutak SpOG dan dr Hendy Siagian SpOG, ketiga dokter spesialis kebidanan dan kandungan tersebut saat itu sedang menjalani pendidikan residen (spesialisasi) di RS Kandau, Manado. dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG yang kala itu telah menjadi residen senior dalam pendidikan dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang ia tempuh dinyatakan sudah berkompeten untuk melakukan tindakan dalam upaya pertolongan persalinan, baik oleh aturan di dalam institusi maupun atas rekomendasi dokter spesialis yang mengampu. Keputusan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG untuk menambil langkah sectio cesarrea cito, yang artinya harus dilakukan tindakan operatif persalinan per abdominal dengan segera, diakui beliau atas indikasi fetal distress (gawat janin) yang merupakan suatu kegawatdaruratan yang dapat menyebabkan kematian janin sehingga membutuhkan tindakan yang tepat dan sigap untuk mengupayakan keselamatan janin. “Saat itu pasien (Nyonya SM, 26 tahun) datang dalam keadaan baik atas rujukan dari puskesmas karena riwayat persalinan vakum. Pasien masuk dengan telah memasuki persalinan kala pertama dan telah mengalami pecah ketuban. Tidak ada tanda-tanda kelainan yang membuat kami perlu mengkhawatirkan kondisi ibu lebih dari pada kondisi janin,”, jelasnya. Kebenaran akan kondisi pasien dikonfirmasi melalui konferensi pers oleh PB POGI dan PB IDI (11/11). dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG mengungkapkan bahwa ia telah mengkomunikasikan persetujuan medik pada keluarga pasien secara lisan yang diikuti oleh kesepakatan antara kedua belah pihak. Melalui tindakan operatif, proses kelahiran berjalan lancar dan bayi berjenis kelamin wanita seberat 4100 gram dilahirkan hidup . Akan tetapi, sesaat kemudian kondisi pasien memburuk. Dua puluh menitpasca kelahiran Nyonya SM harus kehilangan nyawanya. Dari hasil otopsi terhadap jasad pasien, Nyonya SM dinyatakan meninggal dunia akibat emboli (gelembung) pada bilik kanan jantung.
Dalam suatu forum diskusi, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menejelaskan mengenai emboli sebagai resiko inheren dari tindakan persalinan. “Dimungkinkan dua hal, emboli ketuban atau emboli kardiovaskular.”. Tentunya seluruh tindakan medis bukanlah tidak beresiko. Kiranya masyarakat benar-benar memahaminya.
Pada tuntutan pertama yang dilontarkan keluarga korban kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG, pada tahun 2010, Pengadilan Negeri Manado menyatakan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dan kedua asistennya tidak bersalah. Tindakan yang diambil tim dokter dinyatakan sesuai dengan standar dan prosedur operasional, termasuk didalamnya rekam medik yang membenarkan pernyataan yang disampaikan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dalam upaya pembelaannya. Dalam UU Nomor 36 tahun 2009 mengenai kesehatan, telah diatur mengenai kode etik, standardprofesi, hak pengguna pelayanankesehatan, standardpelayanan, serta standar prosedur operasional. Landasan konstitusional tersebut menekankan agar layanan praktik profesi kedokteran harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu kompetensi; standard dan prosedur operasional, termasuk di dalamnya kedisiplinan mengenai persetujuan dan rekam medik pasien; dan pengambilan tindakan medis berdasarkan indikasi yang sesuai. Adapun penjelasan khusus perihal persetujuan medik yang diatur tersendri dalam Permenkes RI No 585/ Menkes/ PER/ IX/ 1989, yakni tindakan resiko tinggi harus disertai persutujuan medik tertulis; tindakan medik resiko rendah yang awam dalam keseharian diperbolehkan dengan persetujuan medik melalui lisan; dan yang terpenting, dalam kondisi gawatdarurat diperbolehkan tidak melakukan persetujuan medik antara kedua belah pihak dengan pertimbangan keadaan mendesak yang mengancam nyawa pasien.
“Seorang dokter seharusnya sulit sekali dituntut secara hukum apabila telah memenuhi setidaknya tiga poin terpenting tersebut tanpa kecuali serta tidak mengabaikan poin-poin penjelasannya,” jelas Dr. Mambodyanto Sumoprawiro, SH, MMR, selaku akademisi dalam sebuah acara Aksi Solidaritas oleh Mahasiswa Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Pada beberapa waktu lalu, atas kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum kepada Mahkamah Agung, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG yang kini bertugas menjalani profesi dokter spesialis kebidannan dan kandungan di Balikpapan, Kalimantan Timur, dinyatakan bersalah atas dasar kelalaian dalam tindakan. Salah satu poin yang dibahas adalah dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang terhadap jantung pasien terlebih dahulu guna memperkecil kemungkinan komplikasi kardiovaskular pasca operatif sebelum tindakan operatif dilakukan, meskipun tim dokter telah bersikukuh menjelaskan bahwa tidak ada alasan untuk melakukan pemeriksaan penunjang karena pasien datang dalam kedaan yang tidak mengindikasikan adanya kecurigaan terhadap kelainan tersebut. Emboli kardiovaskular yang dulu dialami Nyonya SM murni bentuk komplikasi persalinanyang tidak terduga.
PB POGI tidak tinggal diam melihat hal ini. PB POGI sempat mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung yang menyatakan keberatan atas keputusan atas kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum, bahwa yang bersangkutan telah dinyatakan bebas murni oleh Pengadilan Negeri Manado; dari hasil analisis MKEK dan saksi ahli, dinyatakan bahwa tidak ada kesalahan dalamprosedur tindakan; serta yang terpenting yakni temuan penyebab kematian pasien dari hasil otopsi. Mahkamah Agung menjawab pengajuan PB POGI melalui surat nomor 491/PAN/HK.01/IV/2013 tanggal 14 April 2013 yang meminta agar yang bersangkutan meminta Peninjauan Kembali (PK). Pada 31 Juli 2013, PB POGI kembali mengajukan Permohonan Penangguhan Penahanan atas dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG , namun pada akhirnya Jumat lalu (8/11) dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dibekuk oleh satgas ditempat praktiknya.