Ingin berhenti
Namun tak kunjung terealisasi
Bukankah tak ada cara yang benar untuk melakukan hal-hal yang keliru
Berulang kali perempuan itu bertanya
Berulang kali pula, hanya diam yang diterima
Apakah tak pernah terpikir, bagaimana hari perempuan itu jika kebenaran terkuak?
Kenapa harus membiarkan diri koma pada kelemahan
Aku rindu, itu katamu pada perempuan itu
Sementara sudah jelas tak akan pernah bisa bersama, kamu acuh, tidak peduli, yang penting kamu dapatkan apa yang kamu mau. Kamu ternyata pencuri yang berkedok baik, penjahat yang berbahaya
Malangnya, perempuan itu bodoh
Penerimaan yang diberikan, melululantakkan perasaan. Sudah terlalu banyak yang hilang. Sudah berusaha, juga sudah banyak jeda yang terjadi, lagi-lagi perhentian perempuan itu belum menemukan titik. Jatuh dan jatuh lagi, sebab tak mendapatkan penerimaan yang diharapkan, membiarkan diri menjadi korban kebodohan
Kehilangan kembali terulang.
Mau sampai kapan kita seperti ini?
Perempuan itu bertanya
Sampai tidak lagi bertemu, bisa dipastikan yang memberi akhir dari kekeliruan bukan perempuan itu, walau sebenarnya tidak pernah ingin.
Mengerikan
Tak ada tujuan yang terjadi
Tak akan berujung pada kepastian
Namun tetap kalah, malu bersuara
Penyesalan yang tidak termaafkan
Kalimat yang pernah ditulis perempuan itu, memerdekakan hati sendiri itu penting, itu hanya kalimat omong kosong. Karena itu tidak dihidupi perempuan itu.
Sudah terlalu banyak luka
Terlalu sering menyembunyikan diri di padang belantara
Entah berapa lama lagi perempuan itu harus koma, tak ada kedewasaan dan mindset jangka panjang. Keliru dengan kata penerimaan.
Lelah, tidak ingin lagi koma
Lelah untuk berjeda, setidaknya perempuan itu sadar pun menerima kenyataan. Untuk apa meneruskan kekeliruan yang sia-sia
Kemungkinan terburuk adalah kesepian
Namun, perempuan itu tidak lagi terkungkung dalam gelap dan kehampaan. Dalam jerat malapetaka.
Apakah perhentian perempuan itu akan menjadi? Berharap akan menjadi nyata
***
Rantauprapat, 01-03 Juli 2022
Lusy Mariana Pasaribu