Ketika kesejahteraan tak jalan seiring denganku, sebab gandum yang ada padaku malah menjadi lalang. Terundung pada sikap yang sepatutnya tidak kurasakan. Lagi-lagi, aku melihat wajah Januari yang kusam. Hingga banyak tanya yang bertamu di kepalaku.
Terkadang ada rasa percaya. Terkadang rasa percaya itu mengerdil bahkan redup. Pada suatu detik, aku dilahirkan. Entah kelahiranku diharapkan entah tidak. Karena pada suatu detik yang lain, aku ingin mati. Dan itu diharapkan olehku.
Pernyataan seperti,
Kau berbeda. Mungkin kau tak pantas untuk menghidupi bahagia. Kau selalu terhampar dalam hamparan mimpi yang semu. Sebaiknya segera sadar. Dan, bum! Ledakan keras ada di dalam kepalaku.
Ah, aku lelah. Lelah menjadi pendosa yang angkuh. Perasaan hampa meluas pada diriku. Oh hidup, peluklah diriku pada kesadaran hati yang benar. Barangkali itu yang harus kuucapkan dan kumiliki.
Dan, bum!
Saat waktu kembali mencipta jarak padaku. Saat kesedihan tak lagi terkatakan, saat tak ada satu pun manusia yang bisa menolongku, aku pun malah berjeda dari Sang Maha. Payah, dasar aku pendosa yang angkuh.
Bagaimana mungkin, aku berkata :
Oh hidup, peluklah diriku dengan kesadaran hati yang benar. Sementara aku pun memilih berjeda dari Tuhan.
Aku menjadi paham kini, kenapa aku membiarkan diriku menjadi pendosa yang angkuh. Karena aku tidak menemukan keberterimaan atas hidup yang Tuhan berikan padaku. Semakin sepi, aku sering kabur bersama kepura-puraan.
Sudah lama aku sakit, sudah berwarna karat. Aku sudah dewasa, sampai kapan pada ratapan yang seharusnya tidak kurasakan. Bukankah tak akan ada hidup yang selalu memberikan apa yang kumau. Selama bumi masih ada, katakanlah :
Oh hidup, peluklah diriku dengan segala keberterimaan.
Begitu saja, barangkali.