Kau yang keliru, aku yang tersesat dalam sendu. Yang kau lakukan seharusnya bukan menjadi tanggung jawabku, nyatanya aku lebih terluka atas sikapmu. Memberiku hak yang aku tak mau mengembannya, hak atas sebuah ingatan. Ingatan tentang kehilangan yang kembali harus kuikhlaskan.
Aku harus terus belajar menggunakan kekang pada lidahku, sehingga aku tidak menuruti kehendak diriku untuk mengucapkan nada ratapan terhadap kehilanganku. Tak ingin memegahkan perkara-perkara yang besar karena hak atas sebuah ingatan yang kualami.
Aku marah padamu, namun kemarahanku tak harus menodai roda kehidupanku. Tak ingin yang terpancar dari raut wajahku adalah air tawar dan air pahit. Aku harus menyapu bersih luka yang kau berikan, bagaimana pun ada ruang di hatiku untuk dirimu.
Sungguh, terhadapmu aku akan berusaha memproses perasaanku. Tak mau dihalau seperti sekam yang tertiup. Yang kuharap darimu adalah tak lagi acuh tak acuh pada kesadaran yang harus kaumiliki. Hingga kau tak menerima murka yang bernyala-nyala. Pun tak mati tertikam pedang kecongkakan yang lama kau lakukan.
Biarlah, hak atas sebuah ingatan yang kualami ini tidak berujung pada kesia-siaan. Dan aku akan kembali beria-ria dan lepas dari tempat yang tandus karena dirimu.
Sesungguhnya, aku sudah sangat lelah dan jemu. Belakangan aku seperti pohon anggur yang tidak riap lagi tumbuhnya. Terangkum oleh arus air kehilangan.
***
Rantauprapat, 23 November 2020
Lusy Mariana Pasaribu