Sekarang aku melihat, perempuan itu pun merasa jenuh. Gemetar dan merasa bersalah dengan membuat kebodohan untuk diri sendiri. Mengapa mengizinkan hatinya dengan mudah menjadi seperti debu jerami yang diterbangkan badai. Seperti asap dari tingkap.
Aku adalah aku, aku seseorang yang berharap perempuan itu kembali. Kembali ke jalan yang lurus. Tidak melapisi hati dengan kejerian yang melangit. Nyatanya, aku masih saja gagal. Harapanku belum berjumpa dengan realita. Lagi-lagi dia tergelincir karena kesalahan. Kata-kata penyesalan tak membuat hati perempuan itu surut dari kelayuan.
Ranting-ranting perempuan itu tak lagi semerbak dan berkembang, sebab telah dimakan belalang pelahap. Aku menangis dan meratap. Melihat Buah perempuan itu sudah kering dan berlilitkan kain kabung. Dia hanya mengeluh, berteriak dan menjadi kering.
Dia sendiri yang menghanguskan buah baik yang ada pada pohon hidupnya. Kini, penyesalan perempuan itu telah riap dan berawan. Kelam kabut yang pekat ada dalam hatinya.
Apakah perempuan itu akan tetap diam pada keputusan dan perbuatan yang keliru?. Menyimpan kebodohan untuk seterusnya. Meluaskan daerah di Mesopotamia hidupnya dengan angin badai.
Seharusnya perempuan itu tidak melakukan itu. Semoga di sisa waktuku, aku bisa melihat perempuan itu tidak selalu menjadi seseorang yang tengil, payah dan kalah.
Semoga!
Karena perempuan itu seseorang yang kukasihi dan ada di muatan hatiku.
***
Rantauprapat, 18 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu