Padamu, aku juga mengizinkan hatiku kehilangan kasih sayang. Aku kaku dan menghisap aroma kebencian. Mengabaikan dan membuat hatimu layu. Menghimpitmu dalam rasa bersalah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Karena kebodohan hatiku, aku lebih suka berada di genangan sepi dari pada berada dalam pelukanmu. Aku suka bersembunyi bahkan sering tak mau keluar dari kandungan labirin sepi. Kepak sayapku patah pada realita kehidupan yang sebenarnya kuterima.
Sesungguh dan sebenarnya, kau tetaplah kau, orang yang sama. Kau ibuku. Ibu yang sudah melahirkanku. Kau memberikan sinar dan menyelamatkan jiwaku. Kau tak membiarkan amarah tumbuh subur di antara rumput-rumput kedegilan yang pernah kau terima dariku.
Sabtu pukul sebelas pagi, tepat tanggal 17 Oktober 2020 di Rantauprapat, ada kesadaran hati yang merasuki hati dan pikiranku. Pori-pori kulit di seluruh tubuhku seakan menari dalam gumpalan bahagia. Jendela hatiku tak lagi buram, kesadaran ini memberikanku keyakinan akan cinta yang kau miliki untuk diriku bu.
Hari ini, aku merasakan cinta yang besar untukku. Aku perempuan payah yang harus bersyukur memiliki ibu seperti dirimu. Ibu yang hatinya luas akan penerimaan, pemahaman, dan hatinya yang sudah dikayakan kasih dan cinta. Ibu yang sudah merawat dan memasukkan aku ke fondasi pulau cintamu.
Bu, terima kasih sudah mencintaiku dan memberikanku banyak-banyak kebahagiaan.
***
Rantauprapat, 17 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu