Perempuan itu terpesona pada warna gelap. Dan tidak lagi memedulikan nalar. Ia rela layu oleh angin Timur. Kelaparan dalam godaan. Ia berbaur dengan dinginnya lembah malam. Bunganya tak lagi segar, karena ia sudah mengejar lelah.
Ia merumitkan diri sendiri, sebab telah menjadi bunga yang layu. Tak ada lagi senyum tulus yang berlabu di samudera hati. Ada badai besar yang telah menerjang dan menemui perempuan itu. Ia mengasuh harinya dengan desau risau, yang berujung pada kekeringan hati.
Perjumpaan dengan kesalahan, telah menjadi bayangan hitam untuk dirinya. Hingga ia mengucapkan, SELAMAT TINGGAL pada suara hati yang mengusik dirinya.
Perempuan itu menemukan dirinya di dalam tangis dan kemarahan. Jejak kesadaran tak lagi berakar di hidupnya. Ia sudah menuju hancur, karena membesarkan musim kebodohan di rongga hati dan sejarah hidup yang dimiliki. Jiwanya seringkali menyerah pada rasa sepi. Ia pun berpikir, dirinya tak pernah memiliki bahagia yang diharapkan.
Ada bau kesedihan yang terbakar. Perempuan itu telah kehilangan. Ada perpisahan yang ia terima. Merasa bahagia pada kebahagiaan yang sebenarnya semu. Perempuan itu gementar tanpa ampun, hatinya sudah pecah berkeping-keping. Ia tak bisa kembali menjadi bunga yang semula indah.
Kini, perempuan itu hanya menyimpan tanya untuk dirinya sendiri. MENGAPA membiarkan dirinya layu oleh angin Timur?.
Ternyata ia, perempuan dewasa yang payah.
***
Rantauprapat, 03 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu