Perempuan itu tahu, jika dia menanggapi godaan yang datang, godaan itu akan memberi sayatan luka perih dan jejak di dinding hidupnya. Namun, dia tidak menolak dan hentikan godaan itu. Yang dilakukan perempuan itu adalah menikmati dan meniduri godaan itu, seolah dia berselimut ombak kebahagiaan.
Dia menjadi perempuan lemah karena kesepian. Mempersembahkan diri, untuk direnggut paksa hasrat.
Tanpa ragu, dia melepaskan kebenaran. Menikmati daya pikat yang salah dan buat isak tangisnya deras. Di hadapan tungku hasrat, perempuan itu pasrah dan terdiam. Dia tersenyum dalam kawanan berkabut, tak bercahaya. Merebahkan tubuh pada aroma telanjang yang dia kira memberikan bahagia.
Di kesunyian malam perempuan itu, sudah tumbuh suatu tunas yang tidak seakar dengan apa yang dia yakini. Tunas itu berkuasa atas dirinya. Memasuki kerajaan malam perempuan itu, hingga dia berhenti dari apa yang dia yakini. Hatinya bermegah pada kesalahan, berlaksa-laksa cerita malam yang membeku telah menewaskan dirinya dalam gelap. Perempuan itu menduduki tanah kotor, berbuat sekehendak hati. Perbuatan-perbuatan licin melanda dan dia dihanyutkan. Dia tergelincir dan jatuh.
Perempuan itu melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Menghamburkan diri
Memasuki daerah-daerah terlarang. Malam itu, perempuan itu gagal memagari hati dan pikirannya dengan seluruh keyakinannya. Malam itu menjadi ruang gelap yang menyimpan segala rahasia.
Kini, perempuan itu benar-benar menangis dalam sesal. Perempuan itu melahirkan mendung, kegelisahan dan laut tamparan untuk dirinya sendiri.
Dia menipu diri sendiri. Akhirnya perjalanan malam perempuan itu usai dan telah menjadi cerita malam yang telah membeku.
Entah bagaimana dengan perempuan itu setelah malam itu?
***
Rantauprapat, 02 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu