Pagi itu; aku bergegas menuju sekolah untuk penelitian. Sempat ragu; sebab sekolah itu terlalu favorit sedang penelitianku adalah komparasi "perbandingan" Apakah boleh sekolah elit aku perbandingkan dalam penelitian.
Tanpa menunda waktu, dengan segudang kemantapan aku menuju sekolah SMP Wira Bhakti.
"Megah sekali"
Ruang kepala sekolah sebelah mana, aku sempat kebingungan. Kucari orang sekitar. Tak sedikitpun kutemui siswa ataupun guru di luar ruangan.
"Kakak! "
"Kakak! "
Nampaknya murid disitu mengetahui keberadaanku, mereka mencoba menyapa lewat bilik jendela. Dengan sumringahnya aku menghampiri mereka.
"Kakak mau apa kesini"
"Oiya aku mau tanya, ruangan kepala sekolah dimana ya"
Gadis itu berusaha menjelaskan alur lorong menuju ruangan kepala sekolah. Tapi aku tak begitu memahaminya.
"Yasudah aku keluar ruangan saja kak"
"Oke"
Gadis itu menemaniku mengelilingi sekolah, melewati lorong, pun lapangan volly menuju ruangan kepala sekolah.
"Ini kak ruangannya"
"Kok tutup ya"
"Oh yasudah terimakasih"
Setelah selesai mengantarku ke tujuan, gadis itu kembali ke kelasnya.
Entahlah apakah seperti ini suasana sekolah elit, sangat sepi di luar ruangan saat jam pelajaran.
Kulihat ada salah satu guru duduk di bangku panjang. Aku mencoba mendekatinya
"Assalamu'alaikum bapak"
"Wa'alaikumsalam, monggo mba. Ada keperluan apa"
"Ini bapak, saya mau penelitian disini. Dan  ingin bertemu bapak kepala sekolah. Beliau dimana ya? "
"Oh beliau masih rapat. Yasudah tunggu saja sini"
Aku duduk disamping beliau. Terlihat beliau belum begitu terbilang tua. Nampak seperti guru baru.
Setelah asik berbincang dengan beliau. Datanglah sosok paruh baya, putih, penuh cahaya.
"Ini bapak Ghofur, kepala sekolah sini"
Aku langsung menghampirinya, mengecup tangannya dan mengutarakan keinginanku datang ke sekolah ini.
Beliau sangat ramah, baik juga penyayang. Kukira guru sekolah elit akan galak, judes dan tidak ramah. Nyatanya semuanya sangat baik dan ramah.
Bahkan pertamakali bertemu bapak Ghofur, rasanya aku ingin silaturahim ini selalu terjalin, ingin selalu menjaga komunikasi dengan beliau. Sungguh beliau adalah orang yang sangat baik.
"Tunggu sebentar ya mba, saya carikan guru PAI untuk mendampingi penelitian nanti"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Tak menunggu waktu lama beliau datang dengan seorang yang wajahnya begitu teduh dan nampak penuh wibawa.
"Mungkin beliau guru PAI yang dimaksud"
Gumamku
"Ini mba, pak Faris" Beliau memperkenalkan pak Faris kepadaku
Kemudian pak Faris duduk disampingku dan kami memulai pembicaraan yang ternyata akan menjadi perbincangan panjang.
"Dari kampus mana mba"
"IAIN Surakarta pak"
"Wah sama, saya juga lulusan situ, saya lulusan tahun 2018"
"Wah saya masuk tahun 2019 pak"
"Tapi dulu saya kuliah 7 tahun mba"
Beliau menjelaskan dengan begitu panjangnya.
Entah berapa pertanyaan bahkan seberapa lama kami berbincang. Akupun tak begitu menghitung dan mengamati waktu.
Tapi beliau begitu sangat menghormati dan menghargai adanya keberadaanku. Meskipun aku lebih muda dari beliau. Perbincangan kami begitu nyambung dan bisa dikatakan satu frekuensi.
Ada satu kalimat yang begitu masih terngiang dalam perbincangan itu.
"Menjadi guru itu sebenarnya harus memperbaiki niat mba. Â Jika orientasi kita pada urusan dunia atau gaji. Jika dihitung gaji guru pasti kurang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi jika orientasi kita ubah ke urusan ridho dan ikhlas. Kita ridho dan ikhlas menjadi guru. Kita niat ingin benar-benar mendidik. Pasti urusan dunia Allah mudahkan semuanya mba. Ibaratnya kalo kamu mengejar dunia pasti akan kewalahan. Tapi jika yang kamu kejar akhirat, dunia pasti akan ikut. Jadi perbaiki niat dari sekarang dan ubah orientasi kita, tujuan kita menjadi guru itu untuk apa"
MasyaAllah. Beliau luar biasa. Padahal beliau masih terbilang sangat muda. Tetapi beliau begitu bijaksana dewasa dan sangat menjaga wibawanya.
Setelah perbincangan itu, beliau mendampingiku membagikan angket di kelas 8B.
Setelah selesai kami membagikan angket. Kami berbincang lagi.Â