Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Arti dari Sebuah Kecintaan Pada Sepak Bola (Sebuah Nostalgia)

24 Oktober 2013   12:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:06 646 3

Salam Sportivitas,

Sudah 3 hari, sejak saya terakhir menulis tentang “Memahami Perhitungan Ranking FIFA”, dimana saya menjabarkan suatu alur perhitungan yang terlihat cukup rumit, dan kini saya menyadari bahwa tidak semua orang suka akan hal yang rumit.

Banyak kawan-kawan saya yang berkomentar secara langsung (karena memang bukan aktivis kompasiana), mengatakan biarkan saja rangking FIFA itu tetap menjadi misteri hingga saat ia dirilis. Rasa deg-degan itu yang kadang mengasyikkan, karena kita penikmat sepakbola, siapa pun yang bermain di lapangan selama itu mengusung nama timnas - dari kelompok umur mana pun – pasti kita dukung. Kurang lebih begitulah yang saya simpulkan dari statement kawan-kawan saya.

Oke, saya sepakat. Sajikan saja hasilnya, terlepas dari apa pun metode berhitungnya. Tapi, perlu diingat, bila itu yang kita namakan fanatisme, maka biarkan saya ber-fanatis ria lewat hitung-hitungan saya, dan saya dedikasikan itu untuk masyarakat pecinta sepakbola Indonesia, yang mungkin melewatkan bagian dari angka-angka ini.  Karena sepakbola tidak pernah lepas dari angka-angka, bukan?

Football is a game, every game has a level or stage, and if you win on a stage, you’ll be a champion. So, live the game step by step, and don’t use the shortcut, or you’ll lose the essence of the game.

Ahh...nikmatnya menjadi seorang fanatik sepakbola. Setahun selalu bersambung karenanya, ada pertandingan mid-week, pertandingan akhir minggu, pertandingan sela, bahkan pertandingan kejar tayang (saya tidak mengacu pada salah satu liga, tapi sebuah turnamen seperti Piala AFF, dsb).

Berapa banyak tim yang Anda “gilai”. Apa yang memotivasi Anda saat memilih tim tersebut? Apa latar belakangmya? Dan kenapa harus tim itu bukan yang lain?  Pertanyaan-pertanyaan ini mengajak saya sedikit bernostalgia, saat pertama-kalinya saya dan adik saya mulai mencintai sepakbola. Kami selalu berseberangan, tapi itulah yang membuat hidup ini makin seru. Kami tidak hanya memilih tim sepakbola, tapi juga tim basket (NBA-NBL aka IBL), tim GP500 (aka MotoGP), dan juga tim F1. Tujuannya hanya satu, agar kami terikat pada kenikmatan melihat pertandingan secara kontiniu setahun penuh.

Saya memilih Houston Rockets dan Boston Celtics (NBA), Aspac (NBL - IBL), Marlboro Honda aka Westpons Honda (GP500 - MotoGP), dan McLaren Honda – Mercedes (F1). Sementara adik saya memilih LA Lakers dan Chicago Bulls (NBA), Garuda (NBL - IBL), Rothmans Honda (GP500), dan Rothmans Williams (F1).

Bagaimana dengan sepakbola? Sejak kami berlangganan Tabloid Bola pada medio 90an, disanalah kegilaan kami akan sepakbola dimulai. Begitu banyak klasemen, info, dan juga prediksi pertandingan yang menjadikannya lebih hidup, dari sekadar menonton pertandingan selama 90 menit.

Awalnya saya memilih Juventus dan adik saya memilih Arsenal dan Liverpool, saat itu saya menganggap 3 tim tersebut berasal dari Inggris. Tapi setelah sadar, bahwa Juventus berasal dari Italia, maka kita sepakat untuk membagi secara fair semua tim yang ada di Tabloid Bola tersebut. Total ada 6 klasemen dari Liga Inggris, Italia, Jerman, Prancis, Belanda, dan Spanyol.

Fair seperti apa? Saya meminta sebagai pemilih pertama di Liga Belanda dan Prancis, dan 4 liga lainnya adalah milik adik saya untuk memutuskan sistem fairnya seperti apa?

Liga Italia adalah liga pertama yang kami perebutkan. Saya tetap memilih Juventus, sementara 2 klub dari kota Milan jadi milik adik saya. Sisanya kami bagi rata.

Selanjutnya masuk ke Liga Inggris, adik saya sudah memilih Arsenal dan Liverpool, tapi dia juga menginginkan duo Manchester, but its oke. Toh ini bukan liga yang saya pilih? Saya memilih Newcastle United, dimana akhirnya nama besar Alan Shearer berlabuh dan pensiun di sini. Pilihan yang tepat bukan, dimana saat saya memilih, Alan Shearer masih bermain untuk Blackburn Rovers. Sisanya kami bagi rata.

Liga ketiga adalah Liga Prancis. Inilah yang saya tunggu, saya dengan yakin memilih Olympique Marseille, dimana Jean Tigana, Didier Deschamps, Alen Boksic, dan Basile Boli berasal. They’re legend to the world football history. Terlepas dari skandal yang menimpa tim ini pada medio 90an, mereka tetap di hati saya. Dan Adik saya akhirnya memilih Bordeaux dan PSG. Sisanya kami bagi rata.

Masuk ke Liga Belanda. Saya dengan mantap menyebut Ajax Amsterdam, adalah Danny Blind, Jari Litmanen, Michael Reiziger, Frank de Boer, Patrick Kluivert, dan tentunya The Legend Edwin Van der Sar yang menjadi alasan kuat, mengapa saya memilih tim ini. Sementara adik saya memilih Feyenord Rotterdam, dan PSV Eindhoven. Sisanya kami bagi rata.

Dilanjutkan ke liga Spanyol. Adik saya memilih Barcelona dan Real Madrid. Dan saya memilih Atletico Madrid. Meskipun sudah puasa gelar sejak musim 95-96 di Liga Spanyol, tapi tim ini selalu berada di deretan paling depan sebagai ancaman serius bagi Barcelona dan Real Madrid. Sisanya kami bagi rata.

Terakhir adalah Liga Jerman. Dengan cepat adik saya memilih Borrusia Dortmund, Bayern Munchen, dan VFB Stutgart. Sementara saya, justru terpaku pada sebuah artikel yang memajang bendera 1FCK bertuliskan “Die Roten Teufel”, entah apa artinya saat itu, tapi saya suka. Belakangan saya tahu kalau itu artinya Si Setan Merah, mirip Manchester United versi bahasa Jerman. Ya, itu adalah 1FC Kaiserlautern. Yang ternyata itu adalah tahun dimana mereka akhirnya harus terdegradasi. Menyakitkan, ya, karena saya kehilangan sebuah tim yang di awal saya pikir akan menjadi kuda hitam di 1Bundesliga. And guest what.... mereka kembali di tahun berikutnya dengan status juara 2Bundesliga, dan langsung menjadi kampiun 1Bundesliga pada musim berikutnya.

Sebuah semangat vini, vidi, vici, yang (setahu saya) hanya bisa dikalahkan oleh Persik Kediri. Tidak banyak yang kenal memang dengan Olaf Marschall dengan raihan 21 gol pada musim 97/98 (hanya kalah 1 gol dari Ulf Kirsten), 1FC Kaisertlautern menjadi kampiun yang sangat fenomenal. Michael Ballack, Ciriaco Sforza, dan Pavel Kuka adalah nama-nama yang juga turut serta membawa tim ini menjadi juara.

Selang setahun berikutnya, legenda Jerman kembali muncul dari tim ini, tepatnya pada musim 99/00. Seorang striker muda dari tim 1FC Kaiserlautern II, didaulat menjadi tukang gedor utama di 1FC Kaiserlautern, dia adalah Miroslav Klose, striker kelahiran Polandia yang memiliki rating 0,5 goal/game di timnas Jerman.

Dari 6 tim yang saya pilih dari 6 liga tersebut, tim manakah yang paling mendarah daging di tubuh saya? Percaya atau tidak, Newcastle United dan 1FC Kaiserlautern adalah jawabannya. Kok bisa? Ya jelas bisa...itulah cinta. Cinta tidak memilih, tapi ia dipilihkan oleh jalannya sendiri, dan waktu yang membuktikan tingkat kecintaan itu.

Tapi kan 2 tim ini hanyalah tim medioker, bahkan 1FC Kaiserlautern adalah tim yang sangat sulit bersaing secara konstan di top tier 1Bundesliga. Justru disitulah kelebihan mereka. Dengan menunggu pertandingan mereka setiap minggu, hidup terasa jadi indah, terasa lebih berwarna, kadang menang, kadang kalah. Kalah mungkin sudah biasa, tapi kemenangan akan terasa lebih nikmat daripada tim yang selalu menang tapi kalah di partai terakhir.

Sebelum saya akhiri nostalgia ini, saya teringat percakapan antara Mike Wazowski dan Johnny Worthington III dalam Monster University (2013). “After you lose, no one will remember you” kata Johnny yang saat itu menjadi unggulan. Tapi di jawab dengan santai oleh Mike (yang menjadi underdog) “But after you lose, no one will forget this”.

Jika 2 tim medioker di atas bertemu tim unggulan di sebuah partai final. Statement itu pasti akan cocok dengan situasinya. Dan saya akan terus menunggu hingga saatnya tiba, meski entah kapan....

Salam Sportivitas

NB: Tim mana favorit Anda?

Bekasi – Indonesia

24102013

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun