Brebes (Kamis, 17/11/2020), pagi hari di sekolah, penulis memanggil salah satu siswa yang memiliki masalah dalam kehadiran dan kedispilinan di sekolah.
Sesampainya di ruang BK, siswa tersebut disuruh duduk dan penulis memerintahkan siswa menuliskan apa yang diinginkannya ketika berada di rumah maupun di sekolah.
Dari beberapa catatan yang ditulis siswa, ada salah satu hal yang menarik  menurut penulis dan berusaha untuk dituangkan dalam artikel sederhana ini, yaitu tentang tulisan siswa ketika berada di rumah "Jangan dibanding-bandingkan."
Sebelum penulis menanyakan lebih jauh permasalahan membanding-bandingkan. Penulis  mengawali pertanyaan pada diri sendiri dan mencari literasi tentang membanding-bandingkan.
Secara bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata membandingkan adalah memadukan (menyamakan) dua benda (hal dan sebagainya) untuk mengetahui persamaan atau selisihnya.
Menurut Nida Khairunnisa membandingkan adalah cara berpikir rasional manusia untuk mengetahui dan membedakan mana yang baik dan yang jahat, suka atau tidak, dan hal ini biasanya terjadi tanpa kita sadari. Ia pun lebih jauh mengatakan bahwa membanding-bandingkan adalah termasuk insting manusia sendiri.
Sepertinya salah satu perilaku orang tua yang suka membanding-bandingkan tersebut  tidak disukai oleh siswa. Meskipun  membanding-bandingkan  sendiri merupakan sesuatu yang normal, tapi  pada sisi lain ada  dampak yang  kurang baik dirasakan oleh anak dan keluarga.
Setelah mendapatkan informasi  tentang teori membanding-bandingkan, penulis pun kembali mencari informasi tentang diri siswa kenapa ia tidak mau dibanding-bandingkan dan apa efek dari perilaku orang tua yang suka membanding-bandingkan pada anak.
Dengan memahami apa yang dikatakan siswa  ketika dirinya dibandingkan-bandingkan, maka dapat dikatakan membandingkan sendiri memiliki sisi pesan positif namun pada sisi lain juga ada nilai negatifnya.
Ketika membanding-bandingkan dengan tujuan supaya mendapat motivasi dari orang lain, agar memiliki semangat belajar lebih giat atau kualitas ibadah tinggi sehingga kita juga ikut terpacu untuk meningkatkan kualitas diri. Yang demikian ini, Â Rasulullah SAW juga menganjurkan. Agar manusia sering bergaul dengan orang-orang yang shalih, sehingga akan banyak berintrospeksi diri, selalu mendapat suntikan semangat beribadah dan beramal baik.
Membandingkan diri anak dalam urusan akhirat maka mutlak diperbolehkan, karena hal ini dapat membuat semangat ibadah terpacu. Seperti membandingkan diri dengan orang lain yang lebih rajin menjalankan shalat berjamaah.
Tetapi ketika  membandingkan diri dalam urusan duniawi, maka harus dicermati terlebih dulu. Jika sikap tersebut membuat kita semangat untuk meningkatkan kualitas diri maka boleh, bahkan dianjurkan. Seperti membandingkan diri dengan semangat belajar orang lain. Namun sebaliknya, jika hal demikian justru membuat kita kurang bersyukur atau timbul hasud, maka tidak boleh.
Adapun nilai negatif yang terjadi pada anak ketika dirinya dibanding-bandingkan adalah sebagai berikut :
Pertama terjadi keterhambatan dalam komunikasi dalam keluarga. Anak akan semakin menjauh dari orang tuanya. Karena orang tua suka membanding-bandingkan dalam satu keluarga seperti dengan kakak maupun adik, perbandingan ini dapat membuat anak berhenti melangkah dan takut untuk mencoba pada hal-hal yang baru. Â
Lebih jauh lagi, pertemuan dengan keluarga semakin canggung dan tidak harmonis, yang nantinya akan bisa menyebabkan gangguan perilaku dan tahapan perkembangan saat anak tumbuh dewasa.
Anak akan jauh dari orang tua, sehingga anak akan memiliki pemikiran  tidak mau  untuk menyenangkan hati orang tuanya. Karena kedua orang tuanya lebih suka dengan saudaranya  yang menjadi "tolok ukurnya."
Membanding-bandingkan dalam keluarga juga, akan memiliki dampak, menjadikan komunikasi dengan keluarga yang kurang sehat, muncul persaingan antar saudara.
Oleh karena itu, Psikologi membandingkan anak ini tentu harus dihindari agar keharmonisan antarsaudara tetap terjaga dan mereka tidak saling menjatuhkan ketika berkompetisi.
Kedua, yang terjadi pada anak sendiri akan menghambat talenta anak, dan dampaknya anak dapat kehilangan potensinya. Selanjutnya anak akan mudah marah dan mengalami  gangguan kecemasan. Untuk bersosialisasi dan komunikasi dengan lingkungan dan sekolah pun akan terganggu. Yang jelas ketika anak dibanding-bandingkan akan menurunkan harga diri anak sendiri.
Prinsip dasar orang tua membanding-bandingkan dengan yang lain adalah memiliki maksud tidak menjelekkan atau menjatuhkan anak, akan tetapi agar anak memiliki contoh yang baik, mau intropeksi diri sehingga ada keniatan untuk berubah dan menjadi anak yang lebih baik.
Setiap perilaku atau nasehat yang disampaikan orang pasti ada alasannya. Begitu pula dengan orang tua membanding-bandingkan anaknya dengan suadara maupun orang lain, juga memiliki alasan yang kuat. Bisa jadi karena sangat sayang pada anaknya, agar menjadi anak yang shalih maupun shalihah, berbakti sama orang tua, agama dan bangsa.
Pesan penulis yang ingin disampaikan kepada pembaca, lebih khusus para orang tua yang masih suka membanding-bandingkan agar dapat mengakhiri kebiasaan tersebut. Kalau membanding-bandingkan membuat penolakan yang keras pada anak. Dan pada satu sisi yang kurang baik pada anak. Selanjutnya akan membawa banyak dampak buruk bagi kesehatan mental anak juga.
Cobalah selalu menetapkan ekspektasi yang realistis. Orang tua memahami potensi yang dimiliki anak dan membantunya berkembang dalam bidang yang diminatinya. Menghargai kelebihan anak dan membantu anak dalam menghadapi kelemahan maupun kekurangannya.
Berikan dukungan dan kasih sayang pada sisi kelebihan yang dimilikinya dan tutup maupun cari jalan keluar pada kekurangan anak.
Saat melihat kelebihan pada anak hargai dan pujilah. Karena pujian dan dukungan dari orangtua dapat membuat anak lebih percaya diri.
Namun saat anak menunjukkan kelemahannya, janganlah membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain. Cobalah bantu untuk menghadapi kelemahan tersebut.