Para  peserta yang ikut ngajipun rata-rata para kyai dan ustad alumni pondok Assalafiyah yang di asuh Kyai Subhan sendiri. Peserta ngaji tidak hanya dari Brebes semata namun ada dari pemalang, tegal dan Cirebon.
Seperti biasanya, setelah selesai ngaji, banyak tamu yang sudah menunggu untuk bersilaturahmi dengan K.H. Subhan, termasuk penulis sendiri. Ketika ingin bersilaturahmi dengan beliau, biasanya penulis lakukan saat ngaji ataupun setelah  selesai ngaji bersama beliau.
Pada saat bertemu dengan beliau di ruang tamu bersama tamu-tamu yang.
lain,  beliau bercerita tentang keinginanya memiliki tempat ngaji untuk anak "punk."  Mendengar penuturan tersebut,  penulis sempat  kaget. Dalam hati penulis berkata, " Sebegitu perhatiannya,  Kang Kaji memikirkan anak punk."  Apa karena beliau sering melihat anak punk di jalan atau mungkin pernah ngobrol secara  langsung dengan anak punk yang bersilaturahmi dengan beliau.
Sepengetahuan penulis memang tamu beliau tidak hanya dari para orang tua atau wali santri, pejabat dari pusat sampai dusun. Tetapi juga semua lapisan masyarakat, dari  berbagai tingkatan, pendidikan, usia,  ekonomi dan profesi apapun. Mungkin termasuk anak punk itu sendiri.
K.H. Subhan, dapat dikatakan Kyai yang waktunya dihabiskan untuk ngurusin ummat. Mengajar ribuan santri di pondok pesantrenya dan memberikan kajian-kajian di beberapa majlis yang biasa beliau lakukan secara rutin. Mudah-mudahan dengan ditambah ngurusin ngaji sama anak punk. Beliau diberi kemudahan dan kesehatan. Inilah bentuk kepedulian Kang Kaji sama ana punk.
Berbagai pertanyaan terus menyelimuti penulis, ketika mendengar keinginan K.H. Subhan mendirikan tempat ngaji untuk anak punk. Akhirnya, Pada kesempatan ini, penulis mencoba dan memberanikan diri untuk memahami sisi lain anak punk menurut penulis sendiri. Sehingga K.H. Subhan tertarik untuk membina akan punk.
Pertama, siapa sih, yang tidak kasihan melihat pada anak punk, hidupnya di jalan-jalan,  pakaian kumal, makanya meminta-minta dan rata-rata mereka masih usia anak-anak yang perlu bimbingan sentuhan rukhiyah dan psikologis untuk masa depanya. Sehingga nantinya mereka  manjadi anak yang sukses, bermartabat dan bermanfaat.
Kedua, kenapa mereka lebih suka dijalan dari pada dirumahnya sendiri, padahal dirumah makanannya sudah disediakan. Logika penulis saja, mungkin kalau di rumah tidak ada masalah, tidak mungkin mereka hidup dijalan yang serba kekurangan.
tua mereka tinggalkan. Sepertinya anak punk menganggap hidup dijalan  memberikan kenyamanan, dari pada dirumah penuh masalah.
Dalam pandangan penulis anak punk juga manusia, perlu rumah kesejukan, sentuhan hati dan bimbingan dari orang-orang yang peduli terhadap dirinya. Agar anak punk terbantu dalam mengeluarkan masalah yang dialaminya dan mendapatkan bimbingan masa depannya dengan baik. Jangan sampai anak pank ketumu satu sama lainnya, menggunakan hukum alam buatannya sendiri, tanpa mengenal halal dan haram.
Kalau ada rumah untuk anak punk, mungkin disitu anak punk dikenalkan akan Tuhannya, yang telah menciptakan dan pemberi solusi berbagai konflik. Maaf, sementara ini kita hanya lebih suka mencaci dari pada memberi solusi.
Kepedulian terhadap anak punk, yang penulis ketahui dapat dikatakan masih minim. Dan ini, tidak hanya tugas pemerintah saja. Namun menjadi tugas semuanya. Termasuk didalamnya para orang kaya, pejabat,
tokoh agama maupun ulama.
Menjadi renungan dan pemikiran penulis. Apakah hal ini disetujui pembaca apa tidak. Apakah anak punk, selamanya hanya akan mendapatkan kenyamanan hidup dijalan. Tidak bolehkah, anak punk mengenal akan Tuhannya. Mendekat tuk beribadah, menyebut-Nya sebagai dzikir untuk memudahkan mulut ketika ruh keluar dankembali kepada Sang pemik-Nya.
Mudah-mudahan keinginan K.H. Subhan Ma'mun, tentang tersedianya tempat untuk anak punk dapat terealisir, sebagai wahana mengenalkan Tuhan kepada semua makhluknya, jangan sampai ada manusia yang tidak mengenal Tuhan sebagai pemiliknya. Hanya karena ketidak pedulian kita kepada anak punk. Wallahu 'alam bishowab.