“Sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan.” (QS. 94 : 6)< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />
Lebaran 1432 Hijriah menyisakan tanda tanya. Yakni perbedaan dalam
penetapan 1 syawwal 1432 H. Ummat Islam meskipun sudah memaklumi dan semakin
dewasa akan fenomena ini, tetap menyimpan tanda tanya. Apakah perbedaan ini
selamanya tidak bisa dicari jalan tengahnya. Dari pertanyaan itu saya mencoba
sedikit memberikan formula solusinya. Mungkin bukan formula terbaik, dan anda
bisa menambahkannya agar lebih sempurna.
#Menyatukan
Perbedaan#
Saya tidak akan membahas perbedaan antara Hisab dan Rukyat. Saya
hanya membahas perbedaan pendapat bahwa penentuan tanggal hijriyah itu
ditentukan oleh masing-masing daerah atau ikut dengan keputusan ulama Mekkah
yang dianggap sebagai pusat “kelahiran” Islam di sana.
Jika penentuan tanggal hijriyah ditetapkan oleh masing-masing
daerah muslim, maka perbedaan ini selamanya tak akan ketemu solusinya. Berbeda
jika ummat ini bersepakat untuk mengikuti pedoman ulama Mekkah.
Dari sini, kita bisa menjadikan kesepakatan bersama untuk merujuk
ulama Mekkah itu sebagai peluang bersatunya dunia Islam. Devinisi ulama Mekkah yang
saya maksudkan adalah bukan hanya ulama yang ada di Mekkah saja. Tetapi ulama
dari seluruh dunia Islam, yang ditunjuk oleh negaranya sebagai duta ulama
berkumpul di Mekkah untuk menyepakati berbagai khilafiyah yang ada di ummat
ini.
Bisa jadi ada diantara khilafiyah itu yang sama sekali tidak bisa
disatukan, namun setidaknya ada jalan tengah yang disepakati sehingga bisa
menjadi kesepahaman bersama dan menghindarkan konflik sesama muslim.
Salah satu yang bisa disepakati adalah menyatukan perbedaan
penentuan tanggal Hijriyah. Saya yakin penyatuan pandangan yang berbeda tentang
tanggal hiriyah adalah sangat mungkin sekali. Dan ini berpeluang besar bagi
ummat Islam untuk memiliki sendiri perhitungan waktu Islam sebagaimana saat ini
waktu yang kita gunakan berpedoman pada Greenwich. Maka ini peluang bagi para
ulama dan ahli falak Islam untuk membuat Mecca
Mean Time (MMT) disamping Greenwich
Mean Time (GMT). Bukankah di Mekkah sudah ada jam raksasa? Adalah sangat
mubazir jika jam itu hanya sebagai penghias belaka sementara keberadaannya
tidak bermanfaat lebih besar lagi bagi ummat.
#MMT dan
GMT#
Menentukan MMT menurut saya yang sangat awam dunia falak tidaklah
sulit. Kita tinggal mengedit apa yang sudah ada di GMT. Misal, Indonesia
memiliki waktu GMT+7. Ini artinya jika di Greenwich jam 00.00 wib (dini hari) tanggal
2 September, maka di Indonesia adalah jam 07.00 wib (pagi) tanggal 1 September.
Dan Indonesia masuk tanggal 2 September setelah 17 jam berikutnya.
Mekkah memiliki zona waktu GMT+3. Ini artinya jika kota Mekkah
dijadikan sebagai pusat perhitungan waktu Islam menjadi MMT, maka Indonesia
memiliki zona waktu MMT+4. Karena selisih Indonesia dan Mekkah hanya 4 jam. Dan
Greenwich berubah zonanya menjadi MMT-3.
#Fungsi
MMT untuk penetapan Hiriyah#
Pandangan saya, jika Mekkah benar-benar menjadi pusat perhitungan
waktu Islam, maka seluruh perhitungan kalender Hijriyah bisa menggunakan
turunan keputusan itu. Perhitungan 1 Syawwal misalnya, jika Mekkah sudah
memasuki tanggal 1 Syawwal maka Indonesia masuk tanggal 1 Syawwal 20 jam
kemudian.
Penetapan tanggal hijriyah dihitung sejak matahari terbenam. Maka
terbenamnya matahari di Mekkah sebagai 1 Syawwal akan diikuti oleh terbenamnya
matahari di langit Indonesia pada 20 jam kemudian.
#Penetapan
Hilal#
Penetapan hilal pertama kali terjadi di kota Madinah,
Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila
kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan
Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhari-Muslim)
Hadis ini
menceritakan tentang penetapan Hilal untuk puasa Ramadhan. Sementara puasa
Ramadhan diperintahkan Allah swt oleh firman-NYA yang turun di fase Madinah,
QS. Al Baqarah: 183. “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Sehingga ada riwayat Imam Muslim yang
menceritakan perbedaan tentang Ru’yat Hilal ini,
dari Kuraib sesungguhnya Ummul Fadlal binti al-Harits telah
mengutusnya ke Mu’awiyah di Syam (Syiria). Ia berkata, saya telah sampai di
Syam lalu saya menyelesaikan keperluannya (Ummul Fadlal) dan nampaklah padaku
hilal bulan Ramadhan sedangkan saya berada di Syam dan saya melihat hilal pada malam Jum’at, lalu sampai
di Madinah akhir bulan (Ramadhan). Saya ditanya oleh Abdullah bin Abbas lalu ia
mengatakan tentang hilal, lalu ia bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?”, saya
menjawab: “Kami melihatnya malam Jum’at?” Ia
bertanya: “Engkau melihatnya sendiri?”, saya menjawab: “Ya, bahkan orang-orang
juga melihatnya lalu mereka shaum dan Mu’awiyah pun shaum”, Ia berkata: “Akan
tetapi kami melihat hilal malam Sabtu, oleh karena itu kami akan terus shaum sampai sempurna tiga puluh
hari atau kami melihat hilal”, Saya bertanya: ”Apakah anda tidak merasa cukup
dengan rukyat Mu’awiyah dan shaumnya?”, Ia menjawab: “Demikianlah Rasulullah
saw memerintahkan kepada kami”. (H.R. Muslim).
Menurut saya, sebaiknya para ulama dunia berkumpul di kota Mekkah
untuk melakukan ru’yatul hilal di sana. Karena Rasul saw melakukannya di sana.
Hasilnya nanti akan menjadi panduan ummat sedunia berdasarkan zona waktunya
masing-masing sebagaimana bahasan saya di atas. Jangan sampai Indonesia karena merasa
lebih dekat dengan Mekkah selisih waktu 4 jam, kemudian lebaran duluan. Karena
jika dihitung berdasarkan zona waktu maka Indonesia akan masuk 1 Syawwal 20 jam
kemudian. Tetapi ini baru pendapat saya. Barangkali para ulama dan ahli Islam dunia
memiliki pandangan yang lebih bijaksana.
< ?xml:namespace prefix = v ns = "urn:schemas-microsoft-com:vml" />
Menurut zona waktu GMT negeri Syam dan kota Madinah berada di
satu zona waktu. Sebagaimana hadis Kuraib di atas. Maka lokasi pemantauan ru’yatul
hilal dilakukan di lokasi yang masih berada pada satu zona waktu dengan kota
Mekkah.
Indonesia zona waktunya GMT+7, kota Mekkah GMT+3. Jika
masing-masing diberi hak untuk melakukan ru’yatul hilal, maka hasilnya akan
terus mengalami perbedaan selamanya. Maka, inilah saatnya kita bersatu.
Wallahu A’lam.
Lukman Sulistyo