"Setiap anak memiliki hak menjalani masa kecil yang aman dan menyenangkan. Maka penting bagi masyarakat terutama keluarga untuk memastikan setiap anak mendapatkan kesempatan itu".
Oleh: Luki Aulia
Pernyataan itu beberapa kali diulang Ratu Swedia Silvia saat berbincang selama 45 menit dengan kami (tujuh wartawan dari Indonesia, Mesir, Turki, Nigeria, Jerman, Latvia, dan Ukraina), awal bulan ini, di Istana Kerajaan Stockholm, Swedia. "Saya kira itu menjadi tugas kita semua dan tentu kita harus saling bantu," ujarnya.
Anak akan memperoleh masa kecil aman dan menyenangkan hanya jika kita -orang dewasa- dapat menciptakan lingkungan sekitar anak sesuai kebutuhan dan keinginan anak. Untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan anak itu, mau tidak mau "suara" anak harus kita didengar. Seperti halnya orang dewasa, anak pun mempunyai hak bersuara.
Di Swedia, dari 9,5 juta jiwa penduduk terdapat 2 juta jiwa penduduk di bawah usia 18 tahun yang harus didengarkan suaranya karena mereka belum memiliki hak pilih. Artinya, mereka belum bisa secara formal menyampaikan ide atau usulan pada proses pembangunan. Maka dari itu wajib bagi pemerintah dan masyarakat Swedia untuk mendengarkan pendapat dan cara pandang anak.
Hak anak itu merupakan salah satu prinsip dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang telah diratifikasi Swedia tahun 1989.
Untuk menjaga dan memastikan anak terpenuhi hak-haknya, Swedia memiliki banyak lembaga atau organisasi anak seperti Children's Rights in Society (BRIS), Friends, Save the Children Swedia, dan Ombudsman Anak.
BRIS merupakan lembaga yang membuka layanan konsultasi bagi anak melalui telepon, chatting, dan e-mail. Pada tahun 2010 saja, BRIS telah berkomunikasi dengan 115.335 anak dan remaja yang membutuhkan bantuan dan solusi masalah yang dihadapi di keluarga, sekolah, atau lingkungan sekitarnya. Adapun Friends sejak 1997 sudah fokus bekerja sama dengan 1.500 sekolah untuk menangani isu bullying di sekolah dan lingkungan sekitar anak.
Sejak tahun 1979 pun, Swedia sudah menjadi negara pertama di dunia yang menyatakan memukul dan menampar anak termasuk salah satu bentuk tindakan kriminal yang melanggar hukum.
Partisipasi
Meski sudah ada beragam lembaga dan payung hukum yang dibuat, penegakan hak anak di Swedia juga belum optimal. Bahkan masih banyak orang yang tidak paham dengan konvensi hak anak. Menurut Ratu Silvia, setiap satu dari lima anak setidaknya pernah mendengar tentang itu. Begitu pula dengan guru, orang tua, dan masyarakat.
"Tetapi mereka belum tahu bagaimana praktiknya. Karena itu konvensi hak anak jangan hanya sebatas wacana tetapi harus betul-betul dihayati dan dilaksanakan," kata Ratu Silvia yang mendirikan World Childhood Foundation pada tahun 1999.
Hasil survei Save the Children Swedia tahun 2011 terhadap 24.544 anak di Swedia juga menunjukkan 62 persen anak belum pernah mendengar tentang konvensi hak anak. Untuk mensosialisasikan konvensi itu dan mendengarkan opini anak dan remaja, Domestic Programme, Programme Officer Children's Rights in the Society Save the Children Sweden, Karin Fagerholm, mengatakan pihaknya membentuk kelompok diskusi "Ellen" (untuk perempuan) dan "Allan" (untuk laki-laki).
Dari diskusi-diskusi terfokus itu, bermunculan masalah yang dianggap penting oleh anak seperti keamanan di angkutan umum, bullying, dan kekerasan rumah tangga. Masalah-masalah seperti ini yang kemudian dirangkum menjadi proposal kebijakan dari perspektif anak yang diajukan ke pemerintah.
"Sulit bagi orang tua dan pembuat kebijakan untuk memahami pentingnya partisipasi anak. Masalah anak belum jadi prioritas pemerintah. Berpikir dan bertindaklah "di luar kotak' dan mulai dengarkan suara anak-anak," kata Karin.
Menggunakan pendekatan yang hampir sama, Projects Manager Ombudsman for Children in Sweden Jorge Rivera menjelaskan pihaknya menggunakan media rekam seperti kamera video untuk mengumpulkan opini anak. Digital stories, begitu sebutannya, dari anak-anak berisi beragam masalah anak yang disampaikan dengan cara mereka sendiri itu kemudian disampaikan kepada para pembuat kebijakan.
"Semua perkembangan implementasi konvensi seperti ini harus dilaporkan ke komite hak anak di PBB setiap lima tahun sekali," kata Jorge.
Untuk Indonesia yang telah meratifikasi konvensi di tahun 1990 itu, menurut Ketua Presidium Nasional Organisasi Nonpemerintah Pemantau Hak Anak dan Wakil Ketua Komisi ASEAN untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC) Ahmad Taufan Damanik, Indonesia terlambat menyampaikan laporan pertama (Initial Report) karena seharusnya sudah ada laporan dua tahun. Laporan lima tahunan baru disampaikan tahun 2004. "Selain laporannya belum cukup komprehensif, juga terlambat," ujarnya.
Namun Taufan mengapresiasi perkembangan implementasi yang positif. Seperti UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Dilihat dari isinya, cukup banyak pasal yang mencerminkan konvensi hak anak. Meski demikian, masih banyak kekerasan terjadi di sekolah, rumah, tempat umum, tempat bekerja, dan dalam proses hukum pidana anak.
Sosialisasi
Direktur Studi Departemen Anak dan Remaja di Stockholm University Ingrid Engdahl membenarkan minimnya pengetahuan anak tentang konvensi hak anak. Pasalnya, sosialisasi dan informasi tentang hal itu di sekolah seringkali berakhir di guru. Jika pun sampai pada anak, informasinya tidak utuh. Pada tataran implementasinya pun tidak bebas dari pro dan kontra. Sebagian masyarakat menilai konvensi itu memberikan anak terlalu banyak kebebasan untuk memilih dan mengesampingkan orang tua.
"Padahal mulai banyak sekolah yang sudah menganggap penting pendapat anak. Ada sekolah yang bisa batal rencana pengembangan sekolahnya jika tidak ada partisipasi anak," kata Ingrid.
Meski perkembangan penegakan hak anak di Swedia tidak secepat harapan, Ratu Silvia berpesan jangan pernah lelah untuk berbicara dan berdiskusi dengan masyarakat, terutama para pembuat kebijakan, tentang kondisi dan masalah anak serta pentingnya perlindungan hak-hak anak. "Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melindungi anak-anak," ujarnya. ***