Ada 14 poin, di mana poin ke-9 menjadi sorotan terkait dengan batas Laut China Selatan. Pernyataan bersama RI dan China ini diunggah di situs resmi pemerintah China.
Di tengah meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan dan Taiwan Strait, pernyataan ini bisa diinterpretasikan sebagai dukungan tidak langsung terhadap posisi China.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI pun memberi penjelasan lanjutan. Kemlu menegaskan kerja sama maritim Indonesia dengan China itu sebagai bentuk perdamaian di kawasan. Kemlu mengklaim kerja sama itu tidak dimaknai pengakuan atas '9 dash lines'.
Namun demikian, pernyataan bersama itu telah menjadi polemik. Salah satu kekhawatiran dari pernyataan itu adalah absennya penyebutan eksplisit tentang Natuna dan ZEE Indonesia dalam pernyataan tersebut.
Berbagai pihak mengungkapkan bahwa pernyataan tersebut seharusnya secara eksplisit menyebutkan penghormatan terhadap UNCLOS 1982 dan kedaulatan Indonesia di Natuna. Absennya poin ini bisa menimbulkan kesan bahwa Indonesia mengakomodasi klaim China di Laut China Selatan.
Padahal, China secara sepihak telah mengklaim wilayah yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di perairan Natuna melalui peta "nine-dash line" mereka.
Para pengkritik melihat ketiadaan penegasan ini bisa dianggap sebagai kelalaian diplomatik yang serius. Indonesia seharusnya mengambil sikap yang lebih tegas.
Sebagai negara berdaulat dengan posisi strategis di kawasan, Indonesia perlu mempertahankan prinsip bebas-aktif dalam politik luar negerinya. Kerja sama ekonomi dengan China memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kepentingan nasional dan kedaulatan teritorial.
Langkah kongkrit
Belajar dari kontroversi ini, Indonesia sebaiknya mengambil beberapa langkah kongkrit. Pertama, Indonesia harus segera mengeluarkan klarifikasi resmi yang menegaskan bahwa pernyataan bersama tersebut tidak mengurangi kedaulatan Indonesia atas wilayah Natuna dan ZEE-nya.
Kedua, Indonesia harus meningkatkan patroli dan pengawasan di wilayah Natuna, termasuk pembangunan infrastruktur pertahanan. Langkah ketiga, Indonesia harus memperkuat kerja sama dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk menghadapi ekspansionisme China di Laut China Selatan.
Dalam konteks ekonomi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Di satu sisi, nilai investasi dan perdagangan bilateral yang signifikan membuat Indonesia harus berhati-hati dalam mengambil sikap.
Namun di sisi lain, ketergantungan ekonomi ini justru harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi mitra dagang dan investor.
Tantangan
Indonesia juga perlu mempertimbangkan untuk mengambil posisi yang lebih jelas dalam isu-isu regional. Prinsip bebas-aktif tidak berarti harus selalu mengambil posisi netral, terutama ketika ada potensi ancaman terhadap kedaulatan nasional.
Lebih lanjut, Indonesia bisa mengadopsi pendekatan "selective engagement," yaitu bekerja sama dalam hal-hal yang menguntungkan sambil tetap tegas dalam isu-isu kedaulatan.
Masyarakat internasional mengamati bagaimana Indonesia, sebagai pemimpin de facto ASEAN dan kekuatan regional yang signifikan, menyikapi dinamika hubungan dengan China. Sikap yang terlalu akomodatif bisa dipersepsikan sebagai kelemahan dan menciptakan preseden buruk untuk masa depan.
Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa hubungan dengan China perlu dikelola dengan sangat hati-hati. Di satu sisi, potensi ekonomi dan investasi dari China sangat besar dan bermanfaat bagi pembangunan nasional.
Namun di sisi lain, ambisi geopolitik China yang semakin agresif tidak boleh dibiarkan mengancam kedaulatan Indonesia. Kenyataan ini membuat strategi selective engagement itu semakin relevan.
Ke depan, Indonesia perlu mengembangkan strategi yang lebih komprehensif dalam menghadapi China. Strategi ini harus mencakup penguatan kapasitas pertahanan, diversifikasi ekonomi, dan peningkatan kerja sama regional.
Yang tidak kalah penting adalah meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menjaga kedaulatan nasional. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan multi-track diplomacy dalam menghadapi China.
Selain jalur formal pemerintah, perlu diperkuat juga diplomasi ekonomi dan people-to-people contact, namun dengan tetap menjaga prinsip kedaulatan. Salah satunya adalah memperbanyak warga negara Indonesia belajar di China.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa pernyataan bersama Indonesia-China harus menjadi pembelajaran berharga. Diplomasi yang efektif tidak hanya tentang mencapai kesepakatan, tetapi juga memastikan bahwa kepentingan nasional terlindungi.
Indonesia harus berani mengambil sikap tegas ketika diperlukan, sambil tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak sesuai prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Momentum ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengevaluasi kembali strategi diplomasi Indonesia secara keseluruhan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia harus memiliki pendekatan alternatif dalam menghadapi dinamika geopolitik yang semakin kompleks, terutama di kawasan Indo-Pasifik. Pernyataan bersama ini menunjukkan dilema klasik dalam hubungan Indonesia-China, yaitu: bagaimana memaksimalkan manfaat ekonomi sambil meminimalkan risiko geopolitik.
Kemlu dan beberapa pejabat tinggi Indonesia menjelaskan bahwa kerja sama tersebut tak berdampak terhadap kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.
Pada akhirnya, Indonesia perlu memastikan bahwa setiap pernyataan atau kesepakatan internasional yang dibuat tidak mengurangi kedaulatan nasional. Diplomasi boleh fleksibel, tetapi prinsip-prinsip dasar kedaulatan harus tetap tegak.
Diplomasi Indonesia terhadap China harus didasarkan pada prinsip reciprocity dan mutual respect. Kita harus tegas bahwa ZEE Indonesia di Natuna tidak bisa dinegosiasikan, sambil tetap membuka ruang kerja sama di bidang lain.
Sikap ini seharusnya diambil Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan hubungan bilateral dengan China.