Merebaknya konsumerisme, khususnya dan makan(an) cepat saji, telah mengubah perilaku masyarakat dalam menyantap makanan. Semua serba cepat dan instan, sehingga kegiatan makan seolah sekedar memasukkan makanan dan minuman ke dalam perut.
Apalagi gaya hidup makanan cepat saji telah merambah di berbagai wilayah di Indonesia. Orang-orang tenggelam di kedalaman aktivitas mencari nafkah hidup. Mereka tampaknya lupa cara menikmati makan dan makanan.
Nah, mindful eating menjadi upaya cerdas untuk melawan gaya hidup instant dan konsumeristik yang kian merambah. Mindful eating bukan lagi soal diet atau penurunan berat badan.
Mindful eating kini mulai ramai diperbincangkan seiring makin tingginya kesadaran masyarakat urban akan gaya hidup sehat. Tanpa disadari, banyak tempat makan dibuat dengan menawarkan suasana atau pengalaman berbeda.
Jika tidak salah, konsep mindful eating pertama kali diperkenalkan lewat buku “Mindful Eating” karya Dr. Jan Chozen Bays pada 2009. Meski baru populer akhir-akhir ini, ide tentang makan dengan penuh kesadaran itu sesungguhnya sudah ada sejak ribuan tahun lalu dalam tradisi Timur.
Inti dari mindful eating sebenarnya sederhana, yaitu menyantap makanan atau minuman dengan seluruh indra kita hidup dan tanpa gangguan dari aktivitas lain. Kita benar-benar merasakan sensasi tekstur, aroma, rasa, bahkan suara kunyahan makanan kita saat itu juga.
Manfaat dari mindful eating sendiri cukup banyak, baik secara fisik maupun psikologis. Beberapa tulisan menyebutkan ide itu terbukti mampu meningkatkan kesadaran tubuh.
Kebiasaan mindful eating bisa berujung pada penurunan berat badan, mengembalikan sensitivitas indra pengecap, menstabilkan emosi, hingga menumbuhkan rasa syukur pada makanan.
Perlawanan
Lantas, apa hubungannya praktik unik ini dengan upaya melawan gaya hidup konsumeristik yang kian mewabah di tengah masyarakat urban?
Mari kita telisik satu per satu. Pertama, mindful eating membuat kita jadi lebih menghargai makanan. Ketika kita makan dalam kondisi sadar dan tanpa gangguan, perhatian kita sepenuhnya tercurah pada makanan tersebut. Kita jadi bisa mengapresiasi makanan sebagai sesuatu yang unik dan luar biasa, bukan lagi sekadar komoditas.
Ini sangat berbeda dengan cara mengonsumsi kebanyakan orang zaman now yang cenderung menganggap enteng ritual makan. Makan sambil nonton, main HP, bahkan sambil menyetir mobil atau motor sudah biasa kita saksikan sehari-hari. Akibatnya banyak makanan terbuang sia-sia karena dianggap sepele.
Kedua, lewat mindful eating kita jadi makan secukupnya, tidak berlebihan. Dengan penuh kesadaran, kita mengunyah makanan. Kita jadi lebih peka terhadap rasa kenyang.
Kita berhenti makan begitu sudah merasa cukup atau sebelum benar-benar kekenyangan. Ini sangat kontras dengan pola makan rakus demi memuaskan lidah dan hasrat sesaat.
Ketiga, mindful eating secara langsung melatih kita untuk bersabar dan tidak terburu-buru. Praktek ini merupakan kebalikan dari budaya makan cepat atau fast food yang kini merajalela.
Fast food boleh sedap dan bikin ketagihan, namun dampak buruknya pada kesehatan sudah terlanjur terbukti. Dengan mindful eating, kita belajar menyantap makanan secara perlahan tapi pasti, tanpa tergesa oleh hasrat lapar yang membuncah.
Keempat, mindful eating mampu menguatkan kendali diri kita. Orang yang makan dalam kondisi lengah atau terburu-buru cenderung kehilangan kontrol dan makan berlebihan.
Sementara itu, mindful eating membuat kita jadi jauh lebih sadar dan bisa mengontrol porsi makan kita secara alamiah. Kendali diri ini penting untuk melawan gaya hidup konsumerisme yang selalu mendorong manusia modern untuk terus mengonsumsi.
Kelima, mindful eating berhasil memupuk rasa syukur pada makanan. Ketika kita mulai bisa mengecap cita rasa makanan secara penuh kesadaran, itu secara otomatis menumbuhkan rasa kagum dan apresiasi pada yang Maha Kuasa.
Kita jadi semakin mensyukuri setiap hidangan di meja makan kita, bukannya menuntut dan berkeluh kesah seperti perilaku konsumen pada umumnya. Kegiatan makan bukan lagi semata memenuhi nafsu lapar yang harus cepat selesai, tetapi menjadi semacam 'ritual' yang ditunggu.
Tidak perlu mencari contoh jauh ke Jepang dalam bentuk ritual minum teh. Cobalah mampir ke angkringan di Jokja. Bisa juga menikmati mie godhok jauh ke pelosok Bantul.