Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Jalan Panjang Diplomasi ASEAN Menyelesaikan Konflik Laut China Selatan

25 Februari 2023   20:41 Diperbarui: 26 Februari 2023   02:18 677 52
Salah satu masalah pelik yang dihadapi Association of South East Asia Nations (ASEAN) adalah konflik Laut China Selatan (LCS). 17 tahun lebih masalah itu belum dapat diselesaikan oleh ASEAN dan China. Ada kekhawatiran bahwa masalah itu bakal berkepanjangan, tanpa ada kesepakatan.

Pada keketuaan Indonesia pada 2023, ASEAN mengagendakan kembali penyelesaian konflik LCS. Ada kesadaran bersama di antara negara-negara anggota mengenai urgensi penyelesaian masalah itu.

Menlu Retno LP Marsudi membuka forum Retreat Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN atau ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) Retreat di Sekretariat ASEAN, Jakarta (3/2/2023).

Melalui pertemuan itu, ASEAN menginginkan penyelesaian secepatnya menyepakati panduan tata perilaku (Code of Conduct/CoC) di LCS. Selain itu, ASEAN bertekad untuk tetap fokus menjaga perairan kawasan sebagai tempat yang damai dan bebas dari nuklir.

Tekad itu berkaitan dengan ekskalasi konflik di perairan LCS. Klaim China dan provokasi militernya menyebabkan Amerika Serikat mempertahankan kehadiran kapal induknya di LCS. ASEAN mau tidak mau mencemaskan peningkatan ketegangan di kawasan.

Empat negara ASEAN, yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam secara langsung terlibat sengketa klaim atas perairan Laut China Selatan dengan China. Hingga kini negara-negara itu belum mampu mencapai kesepakatan bersama.

ASEAN menginginkan perundingan multilateral dengan China. Sebaliknya, China cenderung memilih perundingan secara bilateral. Pilihan perundingan itu diyakini berkaitan dengan keuntungan pada posisi tawar masing-masing pihak. Akibatnya, kedua pihak belum memperoleh kata akhir hingga kini.

Masalah LCS dibahas pada putaran lanjutan perundingan COC itu akan digelar pada Maret 2023 di Jakarta. Komitmen anggota adalah menuntaskan perundingan COC secepatnya. Selain itu, perundingan LCS juga memperhatikan urgensi memiliki COC yang substansial, efektif, dan dapat dijalankan.

Isu Laut China Selatan menjadi pokok bahasan dalam Dewan Koordinasi ASEAN (ASEAN Coordinating Council/ACC) dan AMM di Jakarta (3-4/2/2023). Dari 53 paragraf pernyataan Ketua ACC dan AMM 2023, lima paragraf secara khusus membahas perkembangan Laut China Selatan.

Pada paragraf 47, misalnya, tertulis mengenai perlunya menemukan strategi atau pendekatan baru untuk mempercepat proses perundingan COC. Kesepakatan di antara negara-negara anggota ASEAN sangat penting dan menjadi modal dasar berunding dengan China

Berunding sejak 1997, ASEAN dan China menyepakati DOC pada 2002. Pada tahun itu pula COC mulai dirundingkan. Setelah 17 tahun berunding, ASEAN-China menyepakati naskah bersama yang akan dirundingkan.

Pembahasan naskah itu sendiri sudah dimulai pada 2019. Pada 2020-2021, pandemi Covid-19 menyebabkan pembahasan CoC dihentikan dan dimulai lagi pada 2022.

Keamanan regional

Melalui KTT 2023, ASEAN secara jelas menegaskan urgensi penyelesaian konflik di LCS. Jalan dialog ditempuh ASEAN untuk mengajak China ke meja perundingan. Tujuan strategis dari diplomasi multilateral ASEAN adalah membangun keamanan regional.

Masalahnya adalah China telah melakukan reklamasi dan insiden serius di Laut China Selatan. Pembangunan beberapa gugus pulau di LCS telah memangkas kesalingpercayaan dan menaikkan ketegangan. Kondisi itu mempersulit stabilitas dan perdamaian kawasan.

Pada pertemuan itu, para menlu ASEAN menyatakan keprihatinannya mengenai perkembangan di LCS. Selanjutnya mereka situasi di LCS  tidak mengarah pada militerisasi perairan tersebut.

Urgensi perdamaian regional itu disampaikan di tengah meningkatnya pengerahan persenjataan China-AS dan sekutunya di perairan itu. Manuver pesawat tempur dan kapal perang AS-China beberapa kali  hampir menimbulkan insiden di lautan itu.

Kedua negara besar itu berupaya memperoleh akses ke laut negara-negara anggota ASEAN. Mereka bahkan mencari kemungkinan membangun pangkalan laut di pelabuhan-pelabuhan di kawasan ini. Pemerintah Filipina mengumumkan pemberian akses bagi militer AS di empat pangkalan atau kamp militer di negara itu (2/2/2023).

Dengan akses itu, militer AS dapat berhadapan langsung dengan militer China yang secara aktif hadir di Laut China Selatan. Sebagian pangkalan itu bahkan berhadapan dengan pangkalan-pangkalan China di daratan hasil reklamasi di kawasan perairan Laut China Selatan.

Perundingan
Perundingan ASEAN mengenai COC di LCS akan tetap menjadi fokus pada upaya peredaan ketegangan dan menghindari kesalahpahaman. Penyelesaian sengketa dan perundingan COC tetap berpijak pada hukum internasional.

Indonesia, antara lain, merujuk pada putusan Mahkamah Arbitrase Internasional pada 2016. Berdasarkan permintaan Filipina, Mahkamah itu berfatwa bahwa daratan hasil reklamasi di Laut China Selatan tidak bisa dijadikan dasar klaim perairan.

Merespon fatwa itu, China menolak mengakui fatwa itu. Sedangkan, Indonesia dan berbagai negara lain menerimanya. Indonesia juga selalu menekankan pentingnya kepatuhan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa soal Hukum Laut Internasional (UNCLOS).

Kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Vietnam mengenai perbatasan laut juga pada UNCLOS pada Desember 2022.

Satu suara
Dengan konteks itu, negara-negara anggota ASEAN diharapkan memiliki kohesivitas dalam penyelesaian konfoik LCS. Kekompakan ASEAN sangat penting dalam menegosiasikan COC LCS dengan China.

ASEAN memang tidak berhak ikut campur dalam penentuan batas geografis suatu negara, termasuk anggota sendiri. Namun demikian, ASEAN tetap memiliki kewajiban mendorong negara-negara anggotanya memiliki  kesepakatan bersama sebelum berunding satu meja dengan China.

ASEAN harus satu suara dalam menentukan isi COC sebelum diserahkan ke hadapan China dan mulai bernegosiasi. Sebelum ada kesepakatan atau hukum internasional mengenai perairan LCS, maka perairan itu harus diperlakukan sebagai lautan bebas dan tempat umum.

Selain itu, tantangan ASEAN juga bertambah berat. Tantangan itu terutama berasal dari perilaku anggota ASEAN sendiri dalam merespon kebijakan provokatif China di LCS.

Misalnya, bagaimana ASEAN sebaiknya
bersikap terhadap kerja sama militer Filipina dengan AS mengenai LCS? Demikian juga dengan kesepakatan-kesepakatan bilateral lain yang memiliki tujuan meng-counter China di LCS.

Harapannya adalah bahwa ASEAN dapat menyelesaikan kesepakatan bilateral itu, tanpa merugikan posisi tawarnya dengan China. Harapan itu tentu saja tidak mudah diwujudkan dalam waktu dekat mengingat masing-masing negara memiliki persoalan keamanan berbeda dengan China.

Tidak mudah bagi ASEAN untuk memiliki satu suara dalam memperkuat posisi tawarnya berhadapan dengan China di meja perundingan. Namun demikian, ASEAN harus tetap memiliki pilihan-pilihan dalam menyepakati isi COC LCS sebelum bernegosiasi dengan China. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun