Tatmadaw, nama militer Myanmar, menjustifikasi tindakan mereka sebagai upaya mencegah kecurangan partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam kemenangannya di Pemiu November 2020.
Militer Myanmar menegaskan bahwa kemenangan NLD dalam pemilu itu tidak sah, sehingga memutuskan melakukan kudeta. Junta mengumumkan masa darurat selama setahun, dan menjanjikan pemilu ulang.
Protes di Kota-Kota Besar
Kudeta militer hanya terjadi di Naypidaw, ibukota baru negara Myanmar. Sekitar lima jam dari kota besar Yangon, sehingga agak wajar ketika massa tidak segera merespon kudeta itu.
Baru pada Sabtu, Minggu, dan Senin kemarin, massa diperkirakan mencapai ratusan ribu di Yangon dan kota-kota lain. Mereka membentangkan berbagai spanduk dan poster bertukiskan "Turunlah kediktatoran militer", "Bebaskan Daw Aung San Suu Kyi dan orang yang ditangkap." Ada juga poster "selamatkan Myanmar" dan “kami ingin demokrasi." Selama berunjuk rasa, massa menyanyikan lagu-lagu revolusioner.
Demontrasi yang hampir sama juga berlangsung kota terbesar kedua, Mandalay, dan daerah-daerah lain di seluruh negeri untuk menentang kudeta militer serta penahanan Aung San Suu Kyi. Demonstrasi di hari ketiga, Senin, makin besar dengan dukungan mahasiswa, pekerja, dan para biksu.
Sementara itu, militer memutus jaringan internet se-Myanmar. Penyedia layanan seluler asal Norwegia, Telenor, mendapat perintah dari militer Myanmar untuk memblokir akses ke Twitter, Instagram, dan berbagai media sosial sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Yang menarik adalah bahwa, pertama, kerumunan demonstran itu sebagian besar terdiri dari kaum muda. Demonstrasi itu juga secara signifikan lebih besar dan lebih terorganisir. Demonstrasi dua hari itu menjadi deminstrasi terbesar di Myanmar sejak Revolusi Saffron yang dipimpin biksu Buddha tahun 2007.
Kedua, massa di Yangon membawa balon merah sebagai simbol dari warna partai National League for Democracy (NLD)-nya Suu Kyi. Pemakaian balon ini memberi semangat bagi mobilisasi massa yang kebih besar di s eliruh negeri.
Ketiga, hormat tiga jari dipakai para demonstran pro-demokrasi. Sebuah simbol populer yang sebenarnya merupakan lambang protes pro-demokrasi yang diadopsi dari film “Hunger Games.” Simbol ini sebelumnya juga digunakan pada berbagai protes atau demonstrasi anti-militer di negara tetangga, yaitu Thailand.
Semakin membesarnya demonstrasi dengan peserta dari berbagai keompok masyarakat, termasuk mahasiswa, penggunaan berbagai simbol berpotensi positif bagi gerakan pro-demokrasi di Myanmar. Demonstrasi itu memperoleh dukungan internasional, melalui kecaman berbagai negara dan rencana boikot mereka.
Imun dari Tekanan Internasional
Dukungan internasional terhadap deminstrasi pro-demokrasi Myanmar sekakigus berarti tekanan internasional terhadap pemerintahan militer Myanmar. Meskipun begitu, beberapa negara lain menunjukkan dukungan secara tidak langsung kepada militer Myanmar.
Dari AS, Presiden Joe Biden mengancam bakal menjatuhkan sanksi jika Aung San Suu Kyi dan pemimpin lainnya tak dibebaskan. Lalu, Paus Fransiskus pada Minggu (7/2/2021) meminta militer mengedepankan jalan demokrasi, sembari memberi dukungan bagi rakyat Myanmar.
Sekanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderalnya, Antonio Guterres, menyatakan "keprihatinan yang besar" atas perkembangan tersebut dan meminta semua pihak untuk menghormati "hasil pemilihan umum 8 November". Kedua pihak harus mematuhi norma-norma demokrasi dan menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilu November 2020 lalu.
Sebaliknya, beberapa negara bersikap diam atau tidak memberikan kecaman keras, sehingga junta militer dapat dikatakan kebal terhadap tekanan dan boikot internasional. Militer Myanmar memperoleh dukungan itu dari China, Rusia, dan respon lunak dari ASEAN (termasuk negara-negara anggotanya).
China berharap semua pihak di Myanmar dapat mengelola perbedaan mereka dengan baik di bawah konstitusi dan kerangka hukum, serta menegakkan stabilitas, setelah militer merebut kekuasaan dalam kudeta. Sementara itu, hingga pertegahan minggu lalu, China dan Rusia masih menolak memberikan dukungan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan pernyataan resmi untuk mengutuk aksi kudeta militer di Myanmar.
Sementara itu, anggota ASEAN memiliki sikap berbeda. Beberapa negara lebih memilih untuk tidak terlibat langsung dan menganggap kudeta militer Myanmar sebagai urusan dalam negeri. Pandangan itu muncul dari Thailand, Kamboja, dan Filipina. Lalu, Kementerian Luar Negeri Singapura mendesak semua pihak untuk menahan diri dan bekerja menuju hasil yang positif dan damai. Komentar yang senada juga digaungkan oleh Malaysia dan Indonesia.
Hingga sekarang, ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di kawasan Asia Tenggara masih belum mengeluarkan pernyataan. Banyak pihak mengharapkan ASEAN ikut turun tangan soal masalah kudeta militer yang terjadi di Myanmar, tetapi ASEAN tidak bisa berbuat banyak terkait hal tersebut.
Pengakuan
Persoalan lebih lanjut muncul, yaitu dampak dari sikap 'diam' China, Rusia, dan lunaknya sikap beberapa negara anggota ASEAN dan organisasi ASEAN itu. Sikap lunak atau lembek itu dapat dimaknai sebagai 'penerimaan' mereka terhadap kudeta militer di Myanmar. Pemerintahan militer Myanmar yang berkuasa sekarang dapat beranggapan bahwa mereka mendapatkan 'legitimasi' atau pengakuan internasional atas kebijakan kudeta mereka.
Posisi tawar pemerintahan militer Myanmar terhadap rakyatnya akan semakin besar ketika masyarakat internasional, seperti ASEAN, mengundang untuk hadir forum-forum ASEAN. Setiap tahun ASEAN menyelenggarakan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri oleh kepala negara atau pemerintahan. Kehadiran pemimpin militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, tentu saja dapat berimplikasi pada meningkatnya posisi politiknya di tingkat domestik maupun regional di Asia Tenggara.
Ini menyebabkan tekanan internasional tidak memiliki dampak politik kepada junta militer Myanmar karena masih ada negara-negara lain yang 'mengakui' kudeta dan pemerintahan militer Myanmar.
Semoga demonstrasi yang membesar dan kekebalan militer Myanmar tidak menimbulkan korban. Demokrasi harus tetap diperjuangkan tanpa kekerasan