Sepasang mata biru milik pria itu tak sedikitpun berpindah dari memandang satu-satunya tempat bercahaya di dalam hutan itu. Pundaknya naik turun dan uap nafas terus mengepul dari mulutnya bagai lokomotif kereta uap. Mantel kelabu yang menutup tubuh maskulinnya berbaur sempurna dengan suramnya keadaan sekitar. Bahkan dia tidak perlu sampai menumpang di balik pohon untuk menyembunyikan wujudnya. Kalau saja tidak ada misi penting yang dipikulnya, malam ini dia tentu sudah berbaring di atas kursi malas sambil menikmati hawa hangat perapian. Jika saja tidak ada dosa yang harus dibayar tuntas, mana mungkin pria itu mau berdiam di dalam hutan pinus bertemankan kegelapan serta menusuknya angin malam musim gugur.