KKNPPM UGM 2013 - Malam Semarak perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 terasa sangat kental terasa hingga kaki Bukit Cerme. Tepatnya pada malam 17 Agustus 2013 di dusun Srunggo I yang terletak di desa Selopamioro, Imogiri, Bantul. Refleksi perjuangan para pejuang jaman dulu ini dilakukan dengan tradisi unik yang mungkin berbeda di perkotaan yang kita jumpai saat ini. Malam tirakatan menjadi malam refleksi bagi para warga khususnya kaum Bapak untuk duduk melingkar bersama-sama mengucap doa untuk arwah para pahlawan Indonesia dalam meraih kemerdekaan kita hingga saat ini. Puncak malam tirakatan ini dilaksanakan di pelataran kediaman rumah bapak Syakur selaku Kaum di dusun tersebut. Turut dihadiri pula Bapak Abdul Khamid selaku kepala dukuh Srunggo I yang memberikan sambutan pembakar semangat untuk melakukan “
lek-lekan” atau tidak tidur semalaman. Sederetan prosesi doa bersama dimulai dengan sambutan dari bapak Kaum, bapak dukuh serta perwakilan dari tim KKN-PPM UGM yang kebetulan tengah menjalankan pengabdian di dusun tersebut. Sembari bercengkerama, kaum Ibu sibuk menyiapkan segala
uba rampe yang diperlukan untuk terlaksanakannya acara sesuai adat yang berlaku disana. Tradisi ini hampir tiap malam 17 Agustus dilaksanakan oleh penduduk asli sana. Budaya ini masih kental sehingga menjadi ciri khas dan kearifan lokal warga tersebut. Oleh karena itu, patut dan layak kita apresiasi agar tidak tergerus dan luntur oleh modernisasi jaman. Biasanya disediakan tiga tenggok nasi gurih, pisang, nasi ambeng, ingkung (ayam kampung) dan kembang mawar sebagai pelengkap doa yang akan dihaturkan. Makanan dan kembang yang didoakan itu hanya sebagai simbolisasi doa yang dipanjatkan. Nantinya, sang Kaum akan membagi rata nasi dan ingkung pada semua warga yang hadir. Hal paling unik dan menarik dari prosesi ini adalah wadah yang digunakan warga untuk membawa berkat yang telah didoakan. Namanya
sarang, terbuat dari daun kelapa yang di
nam menjadi sebuah keranjang bawaan. Disinilah letak kekhasan yang ditunjukkan. Warga tetap menjaga kelestarian budaya dan kearifan lokalnya meski jaman telah menuju modernisasi. Lihat saja di perkotaan, tirakatan mungkin masih ada, namun bungkus yang digunakan adalah besek (dari bambu), kertas dos hingga
styrofoam. Jika dilihat dari segi keramahan lingkungannya, tentu yang menggunakan daun akan lebih mudah terdegradasi (
degradable) dari pada plastik ataupun kertas. Ciri khas ini memberikan corak tersendiri bagi perayaan malam itu. Selain itu, alas nasi yang digunakan pun masih sangat tradisional dan beda dari yang lainnya, yakni menggunakan daun jati. Tekstur daun jati yang tebal dan lebar menjadi kelebihan tersendiri kenapa digunakan oleh warga. “Jika menggunakan
sarang ini lebih
adem mbak, lagipula kesan rasanya lebih enak, membawanya juga mudah”, tutur salah seorang Ibu yang sedang sibuk mempersiapkan kelengkapan prosesi tersebut. Acara yang dimulai semenjak pukul 20.00 wib ini diakhiri pukul 23.30 wib. Para warga yang hardir ditempat kemudian pulang dengan membawa masing-masing satu keranjang
sarang yang didalamnya berisi nasi putih, gudangan (sayur-sayuran) dan potongan ingkung. Tak ayal, tradisi
lek-lekan juga diteruskan oleh sebagian warga yang memutuskan untuk tetap menetap di lokasi hingga dini hari nanti. Esoknya (17/8) dilaksanakan puncak perayaan dengan sederet lomba yang menghibur untuk anak-anak hingga Bapak-bapak dan Ibu-ibunya. Diantaranya lomba panjat pinang, sepak bola dangdut, makan kerupuk, mencari koin, pecah air dan balap kelereng. Gebyar kemerdekaan terasa hingga di pelosok desa. Tak ayal karena jiwa nasionalisme dan patriotisme kita yang masih terjaga. Semoga doa yang kita panjatkan bersama di kabulkan oleh-Nya hingga Indonesia diusianya yang ke 68 ini tetap menjadi primadona dan kebanggaan kita bersama.
KEMBALI KE ARTIKEL