Fenomena yang terjadi saat ini di Indonesia, terutama menjelang pelantikan presiden baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang lalu, adalah adanya antisipasi publik terhadap arah kebijakan pemerintahan baru. Salah satu perhatian utama masyarakat adalah bagaimana pemerintahan baru ini akan mempengaruhi stabilitas ekonomi, khususnya untuk masyarakat menengah bawah dan pelaku UMKM serta koperasi. Kebijakan ekonomi yang inklusif menjadi harapan besar, mengingat pelaku UMKM dan koperasi merupakan pilar penting perekonomian Indonesia, yang menyumbang besar terhadap PDB dan lapangan kerja. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) telah menegaskan bahwa stabilitas sistem keuangan di kuartal III 2024 tetap terjaga meskipun ada ketidakpastian global. Namun, tantangan global, seperti ketegangan geopolitik di Timur Tengah, mengharuskan Indonesia terus memonitor dan mengambil langkah-langkah antisipatif. Ketahanan ekonomi yang berfokus pada daya beli masyarakat juga menjadi sorotan penting. Pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan negara-negara besar memberikan ruang bagi stabilitas finansial, namun pemerintahan baru diharapkan untuk memperhatikan dampak inflasi dan peningkatan biaya hidup yang menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah. Namun, meski pemerintah terdahulu telah menempatkan perhatian besar pada UMKM dan koperasi, ada gap antara kebijakan dan implementasi di lapangan. Misalnya, meskipun koperasi diakui sebagai pengelola rumah produksi bagi UMKM, sosialisasi dan eksekusi program ini masih kurang optimal. Gap ini menciptakan tantangan bagi pemerintahan baru untuk memperbaiki sinergi antara koperasi dan UMKM, memastikan bahwa kebijakan yang dijalankan benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan baru semakin meningkat karena mereka ingin melihat perubahan nyata dalam hal pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan peningkatan daya beli.
KEMBALI KE ARTIKEL