Lepas landas dari Kupang dan mendarat di Maumere. Kota yang menjadi pintu gerbang saya memasuki Pulau Flores. Selamat datang di Flores. Bahagia tak terhingga. Rasanya, baru kemarin malam bermimpi andai saja bisa ke Flores. Tapi kali ini, kaki saya benar-benar menapak di tanah tenun. Pulau yang sepintas terucap seperti bunga; flower.
Oiya, saat di El Tari Airport, Kupang, saya berkenalan dengan seseorang yang juga hendak menuju Larantuka. Saya menyapanya Bang Daniel. Begitu sampai di Maumere, saya berkenalan lagi dengan orang yang juga hendak menuju Larantuka. Bang Unun. Jadi begini triknya, kalau kamu melakukan perjalanan sendiri di Flores (atau pulau-pulau lain di Indonesia), sebisa mungkin berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Mungkin saja kalian punya tujuan yang sama. Hal ini dimaksudkan agar bisa menyewa mobil travel secara beramai. Karena ongkos akomodasi darat cukup sulit dan mahal. Sekali jalan, transportasi antara kota di Flores membutuhkan biaya sebesar Rp. 500.000;- untuk satu buah mobil sewa. Jadi, jika beramai-ramai, kamu bisa menghemat biaya.
Sebenarnya ada juga bus antar kota antar propinsi di Flores. Hanya kamu harus sedikit menemukan kesulitan untuk mendapatkannya.
Dan bersama mereka, saya bergerak menuju Larantuka.
Perjalanan yang cukup tegang tapi menyenangkan. Tegang karena keadaan infrastruktur jalan trans Flores yang tidak begitu bagus. Ya, memang ada yang sudah mulus tapi tidak sedikit yang berlubang dna atau tertutup reruntuhan tebing yang longsor. Ditambah rute berkelok-kelok yang hampir membuat saya mabuk. Tapi itu semua terbayarkan dengan pemandangan yang luar biasa, hijaunya pulau-pulau, toska laut, dan biru langit. Rumah-rumah kayu sederhana dan penjual kain ikat. Ah bahagianya.
Setelah kira-kira dua setengah jam perjalanan, kami berisitrahat di Bama. Ada sebuah rumah makan di sana yang biasa disinggahi banyak orang. Dari Bama, hanya perlu satu jam saja untuk sampai Larantuka. Dan dari Bama itu, menuju Larantuka, pemandangannya semakin indah. Rugi ketika kaca mobil tidak dibuka dan membiarkan kamera berdiam diri. Saya lihat dua gunung yang saling berdampingan. Kata Bang Unun, kalau kedua gunung itu adalah sepasang, satu lelaki, lainnya perempuan. Oh, seperti Merapi dan Merbabu kalau di Jawa, saya menanggapi. Kemudian Bang Unun menunjuk salah satu pulau kecil. “Itu Pulau Konga. Masyarakat menyebutnya Pulau Tambang Mutiara. Ya karena ada mutiara di dalamnya. Statusnya disewakan kepada orang Jepang.” Di belakang Pulau Konga, berjajar Pulau Solor dan Adonara yang saling berebut menunjukkan keindahannya.
Dan kami semakin mendekati Larantuka. Kali ini Bang Daniel yang berkata seraya menunjuk satu menara pemancar signal yang berada di bawah kaki gunung, “Larantuka itu yang ada pemancarnya.” Puji Tuhan. Dan kami semakin mendekat, tak sabar. Mereka, yang duduk bersama saya di dalam mobil, tak sabar bertemu keluarga. Sedangkan saya sendiri, menahan hasrat menjelajah Kota Reinha Rosari. Selamat Datang di Nagi.
Sebenarnya Bang Daniel menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya, tetapi saya sudah terlanjur memesan sebuah hotel di daerah Weri, sekitar enam kilometer di utara Kota Larantuka. Berhubung yang paling akhir diantarkan, saya jadi tahu satu persatu rumah mereka. Dan mereka sangatlah baik, katanya kalau saya nyasar, dan kebetulan lewat rumah, sila mampir dan akan diantarkan keliling kota dan kembali ke hotel.
Sesampainya di hotel, rasa syukur saya bertambah besar. Hotel yang luar biasa, kamar-kamar berjajar menghadap laut. Halaman dengan laut hanya terpisahkan pagar kayu yang kusam tapi kokoh. Ada tungku di sudut halaman, bersanding dengan kandang burung dan ayam serta tempat duduk beton di bawah pohon. Sunrise Resort Larantuka, luar biasa.
Setelah meletakkan semua bawaan, saya keluar kamar menuju tempat duduk di bawah pohon tadi. Memandang selat Adonara beserta pulaunya di seberang. Ada beberap kapal nelayan yang melintas. Di samping, ayam dan burung berceloteh seperti ikut merasakan keindahan Nagi.
Lima bintang untuk bumi Reinha Rosari.
Larantuka, 27 Maret 2013