Bruk..... Hani hampir berteriak kaget manakala sebuah tas ransel mendarat di pangkuannya, dan sedetik kemudian sepasang tangan kekar buru-buru mengangkat ransel itu. Hani belum sempat membuka mulutnya, “Maaf mbak, ndak sengaja, saya tersandung tadi.” Si empunya tas ransel menatap Hani dan menyunggingkan senyumnya dengan ramah. “Permisi mbak, boleh duduk toh?” Ah, saking kagetnya Hani sampai lupa bicara, ia hanya mengangguk dan menggeser sedikit duduknya, agar cowok itu bisa menempati kursi di sebelahnya. Bukan ketiban durian runtuh, tapi ketiban ransel beratnya 5 kg, Hani mengupdate status bbmnya, yang langsung mendapat serbuan chat dari teman2nya. “Ransel?” tanya Ratna, “Iya nech, punya cowok sebelah” jawab Hani, sedikit manyun, merasa terganggu ketenangannya. “cakep?” tanya Ratna jahil, “ bentar biar ku cek....” Hani menoleh, mengamati dengan seksama. Tinggi, berkulit hitam, pakaiannya kemeja rapi dan hmmm....baunya wangi. Hani malah lupa dengan bbmnya, justru mulai sibuk menamatkan pemandangan di sebelahnya. Wajahnya dari samping terlihat tegas dan tampan. Potongan rambutnya cepak dan rapi. “Kok ngeliatin saya terus mbak? Mbaknya lapar ya? Ini....” Seketika Hani merasakan pipinya merah padam karena malu. Cowok itu mengulurkan roti di tangannya, mengira Hani dari tadi melihat rotinya, bukan mengamati dirinya. Hani gelagapan, tidak menyangka sama sekali dengan reaksi yang timbul. “eh, enggak kok mas. Silahkan di makan saja, saya ndak lapar kok!” tolak Hani sambil berusaha tersenyum. “Ah, mbaknya pake malu-malu segala. Nich ambil saja, saya masih punya lagi kok. Tenang mbak, masih steril, belum saya buka!” tanpa di duga cowok dengan senyum manisnya itu meraih tangan Hani dan kemudian menaruh roti itu di telapak tangan Hani. “Monggo di makan mbak, jangan lupa, bismilah dulu kalau mau makan.” Hani menatap wajah tampan di sampingnya yang cengengesan, yang membuat Hani hanya bisa terpana, tidak tahu harus berbuat apa, dan pada akhirnya hanya mengangguk dan mulai memakan rotinya. “Mbaknya mau kemana?” “ Tuban” jawab Hani singkat. “Lho, sama donk mbak. Saya juga mau ke Tuban, boleh tau Tuban mana?” “Jatirogo mas. Kalau masnya mau ke Tuban mana?” Hani akhirnya bertanya balik. “Eh? Saya ini orang Jatirogo lho mbak” “Hah? Masa sich?” Hani sedikit sumringah, merasa mendapatkan teman setujuan. “Iya mbak.... Nanti turun Bulu kan, bareng sama saya saja mbak!” “Ehm......” Hani tak bisa menjawab, ia masih belum yakin. “Lah, mesti ndak yakin toh.... Saya ini orang baik-baik kok mbak. Oh ya, kenalin, saya Bara!” Bara mengulurkan tangannya, “Hani!” Hani menyunggingkan senyum kikuk.