Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie

Moro Lejar Resto Gubuk Tak Ramai, Tapi Masih Enak

3 Juli 2013   13:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:04 3929 2

Kata orang Manado, orang yang suka jalan-jalan disebut kaki gatal. Kaki ini terasa gatal kalau belum digerakkan untuk berpergian. Kadang kaki gatal diartikan sebagai gambaran orang yang sering pergi meninggalkan rumah untuk jalan-jalan.

Rabu (2/7) kemarin saya menemani teman saya dari Pontianak yang sedang berlibur ke Yogya bersama anaknya. “Tempat kuliner yang dibawah gubuk atau saungnya banyak ikannya di jalan kaliurang itu masih adakah?” tanyanya sebelum masuk mobil.

“Aku juga sudah lama ndak ke situ. Yah, saya pulang hanya pas sekolah libur. Tapi kemarin sehabis Kopdar Kampret di kaliurang kami makan siang di Boyong Kalegan Resto yang unik dengan gubuk-gubuk bambu yang didirikan di atas kolam ikan” jawab saya,

Dari hotel di sekitar Malioboro kami terus menuju ke Jalan Kaliurang tepatnya di Pakem. Dalam perjalanan saya bercerita bahwa restoran gubug bambu ala ndeso di sekitar Kaliurang memang banyak. Tinggal dipilih. Karena kemarin saya sudah ke Boyong Resto, kali ini saya antar teman saya dan keluarganya ke Morolejar, Balangan Karang Pakis, Wukirsari, Cangkringan atau Jalan Kaliurang Km 12 Ngaglik Sleman.

Pilihan ke Morolejar bukan tanpa sebab. Setelah makan siang kami berencana menuju ke bekas lokasi letusan Merapi dan ingin merasakan touring menggunakan Jeep.

Mendung menggelanyut di langit ketika kami tiba di Morolejar. Setelah memilih gubuk lesehan yang aman dari tampias air hujan lalu kami memesan. Beberapa rombongan terlihat asyik menikmati hidangan pesanannya. Suara gemercik air dari sungai kecil menambah suasana khas pedesaan saat ini. Bahkan tak terasa hujan sudah berhenti karena suaranya tenggelam oleh gemuruh air terjun kecil limpahan air kolam yang lebih atas.

“Gurameh bakar tanpa dioles kecap bisa dipesan nggak?” tanyaku pada pelayan. Sang pelayan menggangguk sambil memberi catatan khusus pada lembar pesanan. Tak hanya itu yang kami pesan. Gurameh goreng, sayur lombok ijo, karedok, nila goreng asam manis, tahu tempe dengan sambal bawangnya serta minum degan kelapa muda pakai gula merah.

Pesanan kami datang lumayan lama. Mungkin yang oder bersamaan. Sambil menunggu pesanan tiba, saya berdiskusi dengan teman saya dari Pontianak. “Dari sisi penampilan dan penataan gubuk-gubuk bambunya tak berubah bahkan terlihat dimakan usia alias kusam. Nggak ada renoivasi rupanya. Dulu sekitar tahun 90-an, rumah makan ini masih fresh dan rame dikunjungi oleh wisatawan.

Menurut Trip Advisor, Morolejar masuk rangking ke 86 dari 180 restoran yang ada di Yogyakarta. Jadi wajar kalau tidak seramai dulu dan kondisi lingkungannya tidak fresh. Meski demikian nuansa gubuk ndeso yang natural dan ramah lingkungan masih kental untuk dinikmati sambil duduk lesehan menyantap ikan gurameh dan teman-temanya.

Teman saya dan anaknya tampak lahap menyantap. Kami semua merasa kenyang sekali setelah melahap semua hidangan yang kami pesan. Karena yang bayar teman saya, saya tidak tahu jumlah yang harus kami bayar sesuai dengan pesanan tadi. Yang jelas. Masih enak tenan seperti dulu kami sering makan di Moro Lejar.

Sambil menikmati kami berharap semoga Moro Lejar ini ada renovasi sehingga ikut meramaikan wisata kuliner di Sleman khususnya di jalur wisata menuju ke Kaliadem, di mana Mbah Maridjan jadi korban keganasan letusan gunung Merapi (5 Nopember 2010).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun