Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Embung Nglanggeran, Ada Laut di Atas Gunung

9 Januari 2014   12:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 955 0

Puas memuncaki Gunung Purba Nglanggeran (29/12/2013) meski harus dibayar dengan kakiku kaku-kaku alias pegal-pegal, saya dan rombongan melanjutkan jalan-jalan ke tempat lain.

Tak jauh dari Gunung “Wayang” Purba itu, ada objek ekowisata yang tak surut dikunjungi wisatawan. Namanya Embung Nglanggeran. Sebelum menuju ke lokasi itu, saya sempat mencari informasi tentang Embung itu. Saya tanya kepada petugas jaga parkir di Gunung Purba.

Secara singkat, dikatakan bahwa lokasinya mudah ditemukan karena ada papan penunjuk jalan. Embung itu adalah danau buatan untuk menadah air hujan dengan ukuran 60mx40m. Air hujan yang ditampung itu awalnya untuk mengairi kebun buah seluas 20 ha yang ditanam di sekitar Empung. Begitu informasi yang saya dapat dari penjaga parkir di Gunung Purba.

Roda mobil diesel yang dikemudikan Bastian mulai berputar dan memapaki jalan beraspal dan kemudian belok kekiri menyusurijalan bebatuan, berkontur naik turun dan berkelak- kelok. Jalan itu masih berupa pengerasan batu-batu kapur sepanjang kurang lebih 1,4 km dari jalan aspal dari Gunung Purba.

Dengan pelan-pelan Bastian mengemudikan mobil di atas jalan tak mulus itu. Semua penumpang termasuk saya menikmati goyangan mobil akibat jalan kasar itu.Terlihat beberapa batu dipapras agar jalan lebih lebar dan tak halangi lajunya kendaraan.

Dari dalam mobil saya masih bisa melihat kegagahan deretan pegunungan purba dengan latar belakang langit yang biru. Kemudian (gunung) Empung mulai kelihatan jelas karena kontur tanahnya yang gundul tak ditumbuhi pepohonan dan bentuknya seperti gundukan tanah.

Teriknya matahari dan langit yang biru menyambut kedatangan kami. Saking panasnya, AC mobil diputar ke angka tiga. Sementara mobil di parkir, saya melihatlahan parkir sedang dikonblok. Sayang di area parkir tak ditumbuhi pepohonan sehingga teriknya sang surya terasa pedas sekali. Tak jauh dari lokasi parkir, tampak warung-warung sederhana mengantisipasi pengunjung yang ingin makan minum.

“Wah, mendaki lagi” gerutu saya sambil mengusap keringat karena teriknya matahari. “Kalau sudah sampai di atas akan terasa dingin pak. Soalnya di atas kan ada danaunya” imbuh petugas parkir membalas keluhan saya tadi.

Dengan semangat ingin melihat danau di atas gunung, saya pun melangkahkan kaki cepat-cepat dan meninggalkan Bastian dan yang lainnya. Saya berjalan ke atas lebih dahulu.

Di trap pertama saya disambut oleh tulisan Selamat Datang di Embung Nglanggeran, berikut larangan-larang buat pengunjung yang ditulis di lembaran papan dan ditancapkan di tanah. Misalnya dilarang berenang di Embung, Dilarang buang sampah di Embung, dilarang duduk di pinggiran Embung dll.

Prasasti Kebun Buah Nglanggeran yang ditandatangani oleh Hamengku Buwana X, 19 Februari 2013 dan patung buah durian itu serasa menyambut kedatangan saya lagi. Kakiku yang masih kaku-kaku terasa berat melangkah ke tangga berikutnya. Untung tak jauh dari prasasti tadi, sebuah pondok kecil yang disediakan untuk berteduh dan beristirahat sejenak bagi yang kecapean.

Begitu kaki berdiri di puncak, mata saya terasa adem ketika melihat biru kehijauan air danau (embung). Kesan kering kerontang berubah jadi teduh ketika kaki mengelilingi embung ini. Tak hanya itu rasa takjub pun merefresh hati, pikiran dan fisik saya. Betapa tidak. Ketika saya berdiri di pinggiran embung dan kemudian menggerakkan mata secara liar ke kanan-kiri, hati ini tergugah untuk berucap syukur betapa indahnya alam ciptaan Tuhan.

Bersyukurlah masyarakat sekitar yang dipercayai untuk menjaga dan melestarikan indahnya alam ciptaan sekaligus menjadikan tempat ini sebagai destinasi wisata yang layak dikunjungi. Selain meningkatkan dan mengangkat ekonomi rakyat, masyarakat berkewajiban untuk melayani para tamu sebaik-baiknya demi jangka panjang keberadaan objek wisata ini. Prinsipnya wisatawanatau siapa pun yangdatang merasa aman dan nyaman berada di Embung dan sekitarnya. Termasuk pengelolaan sampah yang dibawa oleh setiap wisatawan.

Mengelilingi Embung sambil melihat hamparan alam pegunungan sejauh mata memandang menimbulkan sensasi yang tak terlupakan. Lebih asyiknya lagi berjalan ke arah pondok di tebing atas. Berdiri di situ, keelokan Embung terlihat indah menawan. “Seperti melihat laut di atas gunung” begitulah kesannya.

Tidak seperti Gunung Purba, sejarah dan asal usul Embung Nglanggeran ini tak mudah didapatkan. Konon, Embung ini dibangun di atas tanah milik Sri Sultan (Sultan Ground) seluas 20 ha dan pembangunannya menghabiskan 1,4 M yang diambil dari APBD DIY 2013. Wisatawan yang datang ke Embung ini bisa mengabadikan lanskap saat matahari terbit dan terbenam. Ini uniknya Embung bagi wisatawan yang datang.

Setelah puas menikmati pemandangan di Embung saya dan rombongan kembali meneruskan perjalanan ke Yogya. Sesampainya di bukit Pathuk dengan pemandangan kota Yogyakarta, kami berhenti sejenak sambil menyeruput es buah kelapa muda yang baru saja dipetik dari pohon. Betapa segarnya air kelapa muda itu membasahi tenggorokan kering saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun