“Apik, ik!” jawab saya, ketika teman saya dari Bali bertanya tentang Sam Poo Kong, Gereja Blenduk, Mesjid Agung yang akan kami kunjungi dalam rangka plesiran kota Semarang (28/12/2013).
Kata ‘apik” di tambah partikel “ik” adalah dialek Semarangan yang mengungkapkan perasaan bangga terhadap pemandangan atau objek yang indah dan setidaknya membuat takjub. Partikel “ik”, bisa menyatakan rasa kekaguman atau kekecewaan terhadap sesuatu. Contohnya begini. “Wonge lungo, ik” (Sayang orang yang dicari, pergi entah kemana). Partikel “ik” mengungkapan rasa kesungguhan orang, contohnya “He’e, ik”.
Boso Jowo Semarangan ini termasuk Jawa Ngoko, Ngoko Andhap/Madya. Ini sangat beda dengan bahasa Jawa Inggil Keraton di Yogya, Solo dan sekitarnya dengan lantunan frasa yang halus dan gesture yang sopan (unggah-ungguh).
Dialek Semarangan ini secara antropologis muncul karena ragam budaya orang/warga yang heterogen yang berdomisili di pesisir pantai Utara Karesidenan Semarang dan sekitarnya. Dialek Semarang dipengaruhi oleh interaksi “bahasa dan kebudayaan” campuran antara Jawa, Tiongkok, India, Pakistan, Arab dan datangnya Belanda (VOC) memberi warna bahasa juga.
Tak usah heran jika ketemu “cah Semarang” diajak bercakap-cakap dengan nada sengau tinggi, dan “he’e he’e” sering terucap dari mulutnya.
Pagi itu cuaca Semarang lagi dipayungi dengan langit biru dan mentari mengumbar senyumnya sepanjang perjalananberkeliling Semarang. Saya, teman dari Bali, teman dari Yogya dan adik saya berangkat untuk plesiran ke Semarang.
Sam Poo Kong, Gedung Batu, yang tak jauh dari jembatan Sungai Kaligarang menjadi destinasi pertama kami. Tiba di klenteng serba merah itu, suasana begitu ramai. Untuk parkir kendaraan, kami harus putar-putar dulu mencari tempat yang kosong. Tak hanya itu, antri di depan loket, cukup panjang.Rp. 10.000,- per orang untuk tiket masuk.
Mencari spot terbaik di klentengnya Laksamana Zheng He ini, ternyata tak mudah. Pasalnya, di sana-sini banyak orang sedang berfoto ria. Saya pun berjalan di sudut-sudut klenteng untuk memotret anggunya klenteng ini yang memiliki sejarah perdamain yang dipimpin oleh Zheng He ke Asia dengan 62 kapal.
Gereja Blenduk di kawasan Kota Lama menjadi destinasi jalan-jalan yang kedua. Sebelum ke lokasi, saya sempat mampir di Stasiun Tawang dan Rumah Semut atau Gedung Marabunta (1854), Teman saya dari Bali ingin masuk ke gedung Marabunta karena mendengar bahwa gedung pertunjukan seni ini angker. Setiap malam Sabtu, katanya,dari gedung itu terdengar suara musik yang dipercayai penari cantik Margaretha Geertuida Zelle sedang berdansa dengan suaminya Rudolf Macleod, perwira Angkatan Darat.
Gereja Blenduk, Gereja Protestan Bagian Barat ini dibangun tahun 1753. Keindahannya terlihat pada arsitektur bangunan yang bergaya Neo Klasik, sehingga tak heran menjadi landmarknya Kota Lama Semarang.
Mesjid Agung menjadi destinasi terakhir sebelum pulang ke rumah. Arsitektur Mesjid ini sangat indah dan relijius. Konon, arsitektur Mesjid ini campuran Jawa, Islam dan Romawi. Memasuki halaman Mesjid pengunjung langsung dihadapkan dengan 25 pilar-pilar yang menjulang tinggi dipadukan dengan gaya Koloseum Athena Romawi.
Al Husna Tower (99 meter, tingginya) berada di samping kanan Mesjid diburu pengunjung karena dari lantai atas pengunjung bisa melihat kota Semarang secara menyeluruh. Gedung tower ini dipakai untuk Museum Kerajaan Islam, Studio Radio Dais, Kafe Muslim dan di lantai 19 terdapat 5 teropong untuk melihat kota Semarang dari berbagai penjuru.
“Kalau ke Lawang Sewu saya sudah beberapa kali” kata teman saya dari Bali. Lalu saya lanjutkan bahwa selain itu semua masih ada wisata kuliner. Kuliner khas Semarang berada di kawasan kuliner Pandanaran seperti Bandeng Presto, Wingko Babat, Lumpia, Moaci, dan berbagai macam jenis Pia.
Saya ceritakan kepada teman-teman saya bahwa di sepanjang bantaran sungai Kaligarang atau juga disebut Banjir Kanal Barat kini sudah ditata rapi sehingga Minggu pagi menjadi tempat olah raga yang nyaman. Di malam hari, pesona lampu-lampu yang dipasang di jembatan-jembatan memambah indahnya malam. Banjir Kanal Timur juga sudah mulai sebagian dibenahi menjadi ruang publik yang bermanfaat untuk olah raga dan festival seni. Ke depan lokasi itu, akan menambah destinasi wisata di Semarang.
Begitulah plesiran saya ke Semarang. Terima kasih atas kunjungan di kota kleahiran saya Semarang. “Lho jebul kowe iki cah Semarang to?” Saya jawab, “He eh”.